Seringkali kita menjumpai dan mendengar penilaian seseorang tentang islam agama yang kuno, jadul, keras dan tidak bisa berjajar bersama dengan zaman penuh teknologi ini. Apakah itu salah? Anggapan seperti itu mereka dapatkan dari apa yang mereka lihat, mereka dengar baik itu di dunia maya maupun dihadapan mereka langsung. Mereka tidak salah beranggapan seperti itu, dan mungkin wajar mereka beranggapan seperti itu. Apa yang ada disekitar mereka-lah yang memicu anggapan seperti itu, karena pada dasarnya kebenaran menurut orang berbeda-beda tergantung kapasitas otak seseorang dalam memuat buah-buah pemikiran maupun ilmu yang termuat didalamnya. Sehingga, seyogyanya kita tidak boleh langsung memetak tanpa mencari kebenaran lain di luar kemampuan kita.
Kebanyakan orang-orang terlebih lagi para generasi muda memandang islam sebagai agama yang kaku, tidak dapat beradaptasi dengan lalu lintas zaman yang semakin maju. Bahkan ada beberapa orang tua yang mengangap bahwa mendalami islam adalah sebuah kesiasian karena dianggap tidak dapat sejalan dengan perubahan zaman, sehingga nantinya akan menjadi kudet dan akan ketinggalan zaman. Namun, akankah kita pernah berfikir, alih-alih menyalahkan islam yang kaku, klasik, tradisional. Kenapa kita tidak menggali khazanah islam yang banyak penemuan-penemuan yang ditemukan oleh para cendekiawan muslim? Yang mungkin itu dapat menjadi jendela pengetahuan bagi kita, bahwa isam tidak seburuk yang kita fikirkan.
Abad-abad awal, islam menduduki masa jaya bahkan melebihi negara barat. Mereka terus menggali apa yang ada dalam diri mereka untuk memahami ajaran islam dengan berlandaskan al-Quran dan hadis, dari ketekunan itu mereka menemukan sesuatu yang baru bagi peradapan manusia, seperti penemuan al-Jabar, penemuan obat-obat-an yang dilakukan oleh ibnu sina, dll. Sehingga mungkin itu dapat dijadikan pertanyan dalam benak kita, mengapa islam pada zaman sekarang dianggap kolot, keras? Bagaimana kita membelokkan setigma orang-orang mengnai islam?
Islam adalah agama seluruh umat, Nabi Muhammad diutus untuk seluruh umat dari zaman hidup Rasulullah hingga dunia menutup mata. Sebagaimana dengan al Quran, kitab penyempurna kitab terdahulu, sebagai penerang bagi seluruh umat. Tidak ada batas masa dalam pengamalannya. Dalam islam terdapat ajaran-ajaran yang harus dilakukan oleh umat islam, yang kemudian hari dianggap sebagai bumerang bagi mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Menghadapi anggapan-anggapan yang semacam itu, menganai islam yang kolot, keras, ditambah lagi paham-paham islam fundalisme yang kian marak di tengah-tengah masyarakat, semakin memperkuat anggapan masyarakat mengenai islam yang seperti itu. Sehingga islam semakin tertimbun oleh rongsokan-rongsokan yang tak terpakai. Apakah solusi dari anggapan-anggapan seperti itu?
Dalam tulisan ini, akan mengajak pembaca untuk mulai merenung, mulai memikirkan kembali, apakah prekpektis yang selama ini dipegang benar adanya? Atau benarkah kita tidak membutuhkan islam untuk menuntun dan menjaga kita dari tipu daya dunia ini? Dari tulisan ini, penulis akan sedikit memberi dasar bagi pembaca untuk memandang islam dengan sudut pandang lain? Memandang bahwa islam itu tidak kolot, bahwa islam itu indah. Bagaimana kita memandang islam dari sudut pandang lain?
Moderasi islam, inilah yang akan menjadi sudut pandang kita dalam memandang islam. Ini bukanlah suatu yang baru, namun menghidupkan kembali ajaran islam yang sesuai dengan ajaran Rasulullah, para sahabat dan para ulama salafus sholeh, yaitu ajaran yang adil (wasathiyah) sehingga terwujud islam yang rahmatan lil’alamin.
Wasathiyyah dalam Ajaran Islam Prekspektif Al-Quran dan Hadits
Wasathiah secara bahasa memiliki padanan makna dengan kata tawasuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (keseimbangan). Dalam bahasa Indonesia, wasathiah dikenal dengan kata moderasi. Moderasi berasal dari bahasa latin moderatio, yang berarti kesedangan (tisak lebih dan tidak kurang). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, moderasi mengandung arti, pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman.
Secara istilah moderasi atau wasathiah adalah sikap seseorang yang biasa-biasa saja, tidak berlebihan, tidak ekstrem dan berkecenderungan sikap jalan tengah. Moderasi atau wasathiah biasanya disandingan dengan kata islam dan inilah yang kan menjadi bahasan pada tulisan ini.
Moderasi islam adalah salah satu manhaj, pola pikir yang mengedepankan pandangan dan sikap moderat ( tawasuth), adil (al-adl), bijak (al-hikmah) mengutamakan kebaikan (al-khairiyah) serta seimbang dan proposional (i’tidal) dalam beragama dan menerapkan ajaran islam, serta dalam menghadapai fenomena-fenomena dalam menghadapi kehidupan manusia.
Moderasi atau wasathiah islam merupakan bagian dari ajaran islam, dan bukanlah sesuatu yang baru , karena senyatanya islam yang Rasulullah ajarkan adalah islam yang adil, tawasuth, tidak radikal dan tidak ekstrem. Munculnya pemikiran-pemikiran islam yang ekstrem, dapat dipicu dari pergejolakan islam yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah. Pergolakan politik yang terjadi pada masa awal setelah meninggalnya Rasulullah, memicu pergolakan dalam tubuh islam. Sehingga terjadi pergesekkan dari tempat yang seharusnya, melenceng dari garis koordinatnya. Membentuk paham, pemikiran dan aliran yang baru, bertolak dengan ajaran islam yang sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah. Seperti aliran syiah yang fanatik kepada sahabat Ali ataupun aliran Khawarij, dengan pemikirannya yang radikal, membunuh orang islam yang dianggap mereka kafir.
Dalam masa sekarang ini, pemikiran-pemikiran dalam tubuh islam semakin rancu dan tidak kondusif, sehingga hal itu membuat umat islam kebingungan dan semakin menjadi terpecah belahnya umat islam. Pemikiran yang masih hangat-hangatnya adalah pemikiran mereka yang menafsirkan Al-Quran secara tekstual. Dan isinya bertentang dengan syariat yang berlandaskan al-Quran dan Hadits.
Moderasi islam sendiri disinggung dalam Al-Quran, memakai kata wasath
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.”
Dalam tafsir Ibnu kasir, ayat ini masih ada kaitannya dengan ayat sebelumnya, yang mana menjelaskan tentang pengalihan arah kiblat. Kata wasath dalam ayat ini mempunyai arti pilihan yang terbaik. Sebagaimana Rasulullah yang dikatakan sebagai washatan fi qaumihi (yang terbaik dan termulia nasabnya). Ketika Allah menjadikan umat islam sebagai umatan wasathan, maka Allah memberikan kekhususan kepadanya dengan syariat yang paling sempurna, jalan, yang lurus, dan paham yang paling jelas. Sebagaimanna dalam firman-Nya:
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِيالدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِير
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong” (QS. Al-Hajj:78)
Moderasi ataupun washtjiah ini juga disinggung Rasullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abû Hurayrah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Amal seseorang tidak akan pernah menyelamatkannya”. Mereka bertanya: “Engkau juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Begitu juga aku, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat-Nya. Maka perbaikilah (niatmu), tetapi jangan berlebihan (dalam beramal sehingga menimbulkan bosan), bersegeralah di pagi dan siang hari. Bantulah itu dengan akhir-akhir waktu malam. Berjalanlah pertengahan, berjalanlah pertengahan agar kalian mencapai tujuan.”
Moderasi atau wasathiyah islam merupakan sebuah pengistilhan untuk ajaran agama islam yang seimbang, adil, tidak berlebihaan, sebagaimana ajaran yang didakwahkaan, Rasulullah, para sahabat dan penerusnya atau sesuai dengan ahlus sunah wal jamaah. Istilah ini ingin menghidupkan, ingin mengembalikan pemikiran sesorang tentang islam. Jadi moderasi islam sendiri bukan sesuatu yang ditentang oleh Al-Quran dan Sunah.
Pengaplikasian Ajaran Islam yang Wasathiah Berlandaskan Al-Quran dan Sunah
Ilmu-ilmu yang ada sekarang ini merupakan hasil ijtihad para ulama yang dikembalikan lagi ke sumber utamanya. Mereka memetik samrah-samrah yang terdapat dalam al-Quran dan hadist. Yang kemudian disebarluaskan kepada umat yang nantinya dapat menjadi hikmah bagi umat islam. Fan Fiqih salah satunya, fiqih jika diartikan secara praktis merupakan produk dari istinbat yang dilakukan para mujtahid dalam merumuskan suatu hukum. Dalam pengambilan hukum diperlukan ilmu ushul fiqih sebagai acuan dalam menetapkan sebuah hukum. Setelah hukum telah jadi, jadilah itu fiqih yang kemudian dapat digelobalkan secara umum di dalam kaidah fiqih. Dalam menentukan suatu hukum tidak serta merta menentukan hukum melihat dari satu sisi, akan tetapi yang menjadi sasaran pokok sudut pandang para ulama adalah kemaslahatan umat. Sebagaimana yang tertera dalam kaidah fiqih, yang mana kelima kaidah pokok kaidah fiqih berorientasi dengan tujuan sama, demi kemaslahatan umat.
Menurut Dr Wahbah Zuhail dalam melakukan metodologi memahami Al-Quan , imam syafii selalu menggunakan serangkain metodologi yang amat tertib. Pada langkah awal, As-Syafi’i memahami sebuah ayat al-Quran dengan menggunakan bagian lain dari ayat Al-Quran. Jika suatu hukum telah dijelaskan secara tekstual di satu rangkaian ayat, atau ketika suatu hukum yang terdapat dalam suatu ayat dijelaskan oleh ayat lain, maka hukum yang bersangkutan dianggap telah sempurna dengan oenjelasan Al-Quran itu sendiri. Cohtohnya ayat tentang puasa dan lian.
Imam sayfii berpendapat bahwa al-Quran mencangkup prinsip-prinsip hukum-hukum yang bersifat umum, syariat secara universal, dan kaidah-kaidah keislaman yang masih berbentuk garis-garis besar. Oleh sebab itu, segala keumuman itu harus dijelaskan lebih lanjut. Dan hadis lah yang bertugas menjelaskan keumuman tersebut. Cohtohnya seperti daam masalah sholat,zakat, haji, jihad ddan puasa yaang telaah diwajibkan oleh A-l-Quran yang kemudian dijelaskan oleh hadis. Sebagaimanapun dalam masalah lainnya, seperti masalah pengurusan rumah tangga, pergaulan antar manusia, dan beberapa hukuman yang ditetapkan untuk mencegah terjadinya kerusakan dalam tubuh masyarakat dan individu.
Apabila penjelasan yang dibutuhkan ternyata tidak ditemukan dalam hadis, maka imam syafii akan melanjutkan pencariaannya dengan menggali penafsiran Al-Quran yang telah dilakukan oleh para sahabat daan para ulama salafus shalih. Alasannya karena mereka dianggap sebagai orang-orang yang yang paling memahami kandungan Al-Quran dibanding yang lain. Dan jika masih belum ditemukan, maka imam syafii menggunakan peendekatan keebahasaan dan rasionalitas yang lurus dan sejalan dengan semnagat syariaat dan qiyas yang tepat.
Hadis shahih mempunyai tempat teristemewa dibandingg tingkatan hadis lainnya. Imam syafii memandang hadis shahih sebagaimana ia memandang Al-Quran yang semuanya sama-sama wajib untuk diikuti.
Moderasi islam merupakan islam yang rahmtal lil’alamin, menjadi pemuas dahaga dalam gersangnya dunia. Moderasi islam merupakan islam yang ahlus sunah wal jamaah. Sehingga dengan adanya pengistilahan ini, diharap mampu menjadi pola fikir masyarakat atas stigma-stigma yang mereka anggapkan. Dengan pengistilahan ini, diharapkan juga dapat menjadi pegangan mereka, untuk dapat memilah-milah pemikiran-pemikran yang marak ditengah-tengah masyarakat saat ini.
Dalam menghadapi kemajuan digital ini, diperlukan pemikiran yang maju yang tidak hanya mengandalkan apa yang ada sekarang, namun juga menggali khazanah islam, yang mungkin tertimbun oleh meluapnya lagu-lagu maupun pakaian yang fashion able. Dengan majunya teknologi ini, kita megkoperasiakn pemikiran-pemikiran yang ada dengan ajaran yang sesuai dengan ahlussunah wal jama’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, vol.1, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i,1944)
Khairan Muhammad Arif, Konsep Moderasi Islam dan Pemikiran, jurnal study agama vol.19,No.2, Februari 2020
KBBI V1.1 http://ebsoft.web.id
Abi Zakariya Yahnya, Riyadh al-Shalikhin, CV.Pustaka Assalam
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i, (Almahira, 2010)