Pendahuluan
a. Latar belakang dan rumusan masalah
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسوله الأمين الذي أنزلت إليه آيات الكتاب المبين وقُص عليه أحسن القصص وإن كان من قبله لمن الغافلين وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. وبعد،
Di antara masalah umat Islam saat ini adalah tafarruq (munculnya kelompok-kelompok sempalan) dan ikhtilāf (perselisihan pendapat), dan Allah عز وجل menguji siapa yang mengikuti jalannya Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabat رضوان الله عليهم, tidak terkecuali ujian dari firqah yang ekstrem dalam bab dakwah yang disebut kelompok radikal.[1] Seseorang menjadi radikal apabila dia ingin mengubah keadaan masyarakat dengan tergesa-gesa, bukannya mencontoh cara Allah dan Nabi yang ta’anni (tidak tergesa-gesa) dan tadarruj (bertahap).[2] Tergesa-gesa saja sudah termasuk radikalisme, lebih lagi apabila dakwah itu disertai dengan pemaksaan, teror, dan kekerasan; itu bukan dakwah yang mencontoh Nabi.[3]
Para pendidik, baik itu orang tua, dai, serta guru dan dosen, pasti akan menemukan sumber tafarruq—termasuk radikalisme—itu ada di mana-mana, seperti hujan yang mereka temui begitu mereka keluar rumah,[4] bahkan sampai masuk ke dalam rumah[5] yang semestinya tidak boleh dimasuki tanpa seizin pemiliknya. Melihat hal ini, pendidik pertama di dalam rumah, yaitu para orang tua, boleh jadi gelisah, khawatir, dan merasa kewalahan menghadapinya. Jika radikalisme adalah satu sisi ekstrem dalam dakwah yang berupa keinginan untuk berubah dengan cepat, bahkan memaksa, maka putus asa dari usaha memperbaiki masyarakat adalah sikap ekstrem dari sisi di seberangnya. Di tengah kedua sikap ekstrem itu ada usaha dakwah memperbaiki masyarakat semampunya. Bagaimana cara agar orang tua di rumah tidak putus asa dari dakwah?
b. Tujuan
Saya ingin mengajak bersama-sama mengambil teladan dan motivasi dari Kitabullah; Nabi tidak berwasiat kecuali dengan Kitabullah.[6] Di dalam kitab-Nya, Allah menceritakan apa yang telah dialami Nabi Ya‘qub عليه السلام yang tidak lepas dari ujian dalam mendidik keluarganya, baik ketika di Tanah Kan‘an di tengah masyarakat muslim,[7] maupun di Mesir di tengah masyarakat pagan. “Sungguh telah ada ‘ibrah dalam kisah-kisah mereka untuk orang-orang yang jernih akalnya.”[8] Saya juga ingin menjelaskan dua konsep sederhana yang dapat menjadi benteng radikalisme.
Ketika Keluarga Nabi Ya‘qub di Tanah Kan‘an
يوسف [4-6]
Yusuf عليه السلام adalah putra Nabi Ya‘qub yang kesebelas dari dua belas bersaudara. Allah mulai mengajari Yusuf kemampuan menakwil mimpi—bahkan segala macam pembicaraan—sejak dia melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan dalam mimpinya. Yusuf menceritakan mimpi yang dia lihat dan secara samar-samar sekaligus menceritakan takwil mimpi itu kepada ayahnya. Untuk menyebut sebelas bintang, bulan, dan matahari, Yusuf dengan sengaja menggunakan dhamīr untuk yang berakal.[9]
Sebelum mendengar penjelasan tafsir dari ayat ini, saya sudah terbiasa membaca surat ini, tetapi tidak mencermati bahwa ayat ini menggunakan kata هُمْ hum untuk merujuk sebelas bintang, matahari, dan bulan, padahal saya sudah tahu kalau jamak benda-benda tak berakal harusnya menggunakan هَا hā atau هُنَّ hunna. Tidak seperti saya, Nabi Ya‘qub cermat dengan satu kalimat yang diucapkan putranya ini dan langsung tahu kalau putranya sedang menceritakan sebuah mimpi yang takwilnya adalah sebuah masa depan yang besar. Bagaimana tidak besar, sedangkan Nabi Yusuf melihat sebelas saudaranya, ibunya, dan ayahnya bersujud di hadapannya.[10]
Nabi Ya‘qub menyadari potensi besar dari putranya ini. Respons pertamanya adalah, “Nak, jangan kamu ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu.” Nabi Ya‘qub memberitahu kepada Yusuf kecil bahwa situasi keluarga mereka rumit. Ada anggota keluarga terdekat yang merupakan sumber masalah. Nabi Ya‘qub khawatir kelebihan yang dimiliki Yusuf akan menjadi sebab kedengkian saudara-saudaranya. Demi kebaikan anaknya, anaknya harus tahu kenyataan pahit.[11]
Namun, Nabi Ya‘qub menekankan bahwa sumber masalah sebenarnya adalah syaithān. Seburuk apapun perilaku saudara-saudaranya, musuh Yusuf bukanlah saudara-saudaranya, tetapi syaithan. Sepanjang Surah Yusuf tampak jelas bagaimana syaithan menampakkan permusuhannya kepada manusia.[12]
Respons yang keduanya adalah, “Ternyata begitulah Rabbmu memilihmu dan mengajarimu takwil segala mimpi dan perkataan.” Seorang ayah perlu mengakui kelebihan yang ada pada anaknya dan memberikan dukungan walau hanya berupa kalimat apresiasi. Nabi Ya‘qub tidak lupa menyandarkan kelebihan itu kepada Allah.[13]
Siapa sangka kalimat-kalimat inilah yang membekas pada diri Yusuf yang membuatnya mampu melewati berbagai ujian tanpa ditemani seorang pun dari keluarganya? Nabi Yusuf dilempar di lubang galian air di tempat tak berpenghuni, dijual sebagai budak, digoda berzina oleh istri seorang politikus, difitnah, dimasukkan penjara tanpa proses peradilan, dilupakan oleh teman satu selnya, bahkan ketika sudah dianggap mati oleh saudara-saudaranya, dia masih difitnah. Terlepas dari berbagai ujian itu, Nabi Yusuf masih tegar dan tidak hilang akal. Nabi Yusuf juga memiliki rasa percaya diri (self-esteem) yang tinggi dan dengan tegas meminta dijadikan Bendahara Kerajaan.[14] Rasa kepercayaan dirimya tidak hilang meskipun kehidupannya dipenuhi berbagai musibah dan kekurangan.[15] Maka dari itu, seorang ayah dan pendidik perlu mengajari anaknya dengan kalimat yang baik sejak kecil.
Ketika Keluarga Ya‘qub di Mesir
Yusuf dan Ya‘qub bukanlah rasul; mereka tidak diutus dan tidak diwajibkan untuk memberi peringatan kepada manusia. Pendidikan agama yang benar Nabi Ya‘qub kepada Yusuf saat kecil berhasil membuat Yusuf tetap mengikuti agama yang benar meskipun dia harus berpisah dengan keluarganya sejak kecil dan hidup bersama orang-orang yang tidak pernah mengajarinya Islam.[16]
Suatu waktu, Ya‘qub dan seluruh anak turunnya pindah ke Mesir bersama Yusuf, mendapat kedudukan yang dihormati, tetapi harus tinggal di tengah masyarakat yang menyembah selain Allah. Di Mesir itulah, saat Ya‘qub sudah di pembaringannya menunggu kematian, dia bertanya kepada anak-anaknya, “Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku?”[17] Nabi Ya‘qub tidak bisa berbuat banyak untuk masyarakat. Yang bisa dia lakukan adalah mendidik anak-anak yang ada di bawah kuasanya. Pengaruh di luar rumah bisa jadi buruk, tetapi seorang pendidik tetap berbuat semaksimal mungkin sesuai kapasitas yang Allah berikan kepadanya.
Benteng dari Radikalisme
Dari kisah ini, pendidik perlu menyadari bahwa pengaruh buruk bisa datang dari mana saja dan bisa jadi membuat pendidik merasa kewalahan. Namun, pendidik tetap harus melakukan kewajibannya mendidik terlepas dari betapa tidak mungkinnya pendidikannya akan berhasil. Selain dari kisah Keluarga Nabi Ya‘qub di atas, dua hal lain bisa memotivasi pendidik untuk tetap mendidik: besarnya pahala mengajarkan kebaikan dan bahwa mendidik anak muslim di dalam rumah itu sangat mungkin untuk berhasil.
Motivasi akhirat tentu lebih baik. Kegiatan dakwah secara umum dan mendidik secara khusus adalah kegiatan berpahala, baik dakwah itu diterima/berhasil atau tidak. Allah mengatakan, “Dan (isi suhuf Musa dan Ibrahim itu juga) bahwa setiap manusia tidak mendapat kecuali apa yang dia usahakan. Usahanya itu kelak akan diperlihatkan. Kemudian, itu dibalaskan kepadanya, berupa balasan penuh.”[18] Manusia melihat hasilnya, tetapi Allah melihat usahanya.[19]
Di lain sisi, hadis tentang fitrah dapat menjadi motivasi di dunia untuk tabiat manusia yang ingin melihat hasil. “Setiap bayi lahir di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”[20] Yang ditunjukkan oleh hadis ini adalah jika orang tuanya tidak menyimpang dari fitrah, maka anaknya sangat mudah untuk menerima ajaran Islam yang sesuai fitrah.[21] Bayi tidak lahir mengetahui ajaran Islam, tetapi lahir mampu mengenali kebenaran ajaran Islam.[22] Ajaran Islam adalah syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, yang murni tanpa penyimpangan. Oleh karena itu, ajaran Islam yang tidak radikal—sekali lagi, Islam murni yang diajarkan Nabi tidak radikal—sangat mudah diajarkan karena sejak lahir Allah membuat anak itu mudah mengenali kebenarannya. Bahkan jika kita melihat makna fitrah secara bahasa,[23] tidak membatasi makna fitrah pada aspek spiritual saja, dan memperluasnya sampai mencakup aspek jasmani, maka kita akan mendapat pengertian bahwa jasmani manusia diciptakan dan dipersiapkan sesuai dengan tugas hidup di dunia dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam.
Di antara ajaran kebenaran itu adalah bahwa manusia memiliki tugas menjadi khalifah di bumi.[24] Generasi akan silih berganti. Anak-anak akan menggantikan orang tuanya. Saya mengamati bahwa dua konsep Islami: fitrah dan konsep khalifah di bumi; adalah penjelasan paling masuk akal mengenai perkembangan spiritual, psikologis, dan fisik anak sejak lahir. Sejak kecil anak-anak telah Allah buat mau belajar berjalan, bicara, dan mengenali lingkungannya. Anak-anak belajar meniru pekerjaan orang dewasa bahkan ketika mereka bermain. Permainan, salah satunya permainan adegan, menjadi alat percobaan yang aman bagi anak-anak untuk belajar pekerjaan yang biasa dilakukan orang-orang dewasa.[25] Psikologi sekuler masih hanya berteori tentang apakah faktor genetik yang mempengaruhi kepribadian anak ataukah lingkungannya (nature vs. nurture), termasuk kenapa anak mau belajar dan bagaimana anak dapat memahami; belum ada jawaban yakin dan memuaskan.
Tugas setiap orang di bumi seharusnya adalah empat kewajiban di dalam Surat al‑‘Ashr: “iman, amal saleh, saling berwasiat dengan kebenaran, dan saling berwasiat dengan kesabaran.”[26] Iman dan amal saleh adalah kewajiban masing-masing orang pada dirinya sendiri. Dalam kehidupan berkomunitas, setiap anggotanya perlu saling mendukung untuk beriman dan beramal saleh dengan melawan dua “patogen”-nya: syubhat dan syahwat. Syubhat dilawan dengan kebenaran dan syahwat dilawan dengan kesabaran.[27] Kesabaran adalah poin kunci untuk melawan radikalisme. Jika orang tua dengan nyata melaksanakan empat tugas ini dan ajaran keseluruhan ajaran Islam, anak bisa meniru orang tua dan anak terbentengi dari radikalisme. Wallāhu a‘lam bish-shawāb.
Penutup
Benteng dari radikalisme adalah dengan mengikuti petunjuk Alquran dan Sunnah dalam dakwah dan pendidikan. Petunjuk itu berupa prinsip-prinsip umum dan contoh kisah dalam penerapannya, seperti kisah keluarga Ya‘qub عليه السلام. Setelah berusaha mengikutinya, kita berharap pahala dari Allah. Yang paling penting bagi orang tua adalah menjaga diri terlebih dahulu dari bentuk radikalisme bahkan dari akar-akarnya, yaitu pemaksaan dan kekerasan. Allah berfirman,
Semoga Allah menjaga kaum muslimin dari berbagai bahaya dan musibah. Semoga Allah menunjukkan jalan yang tegak. Semoga Allah menerima segala bentuk kebaikan dan mengampuni kesalahan-kesalahan. Dan semoga Allah senantiasa menyanjung Nabi Muhammad dan memberinya keselamatan.
[1] QS al-Baqarah, misal ayat 183 dan 213, dan hadis إن أمتي ستفترق على ثنتين وسبعين فرقة، كلها في النار إلا واحدة، وهي الجماعة, riwayat Ibnu Majah no. 3993, sahih.
[2] Lihat definisi kedua di https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/radikalisme
[3] Lihat QS Yunus ayat 98-99 dan hadis يسرا ولا تعسرا, riwayat Bukhari dan Muslim.
[4] Hadis فإني لأرى الفتن تقع خلال بيوتكم كوقع القطر, riwayat Bukhari dan Muslim (ad-Dosari, Abdurrahman Fahd al-Wada’an (2016, Agustus 12). Hadits: fa-innī la’arā al-fitan taqa‘a khilāl buyūtikum ka-waqa‘ al-qathr. Alukah. https://www.alukah.net/sharia/0/106355/).
[5] Hadis dari ‘Auf bin Mali, perkataan Nabi ثم فتنة لا يبقى بيت من العرب إلا دخلته, riwayat Bukhari no. 3176.
[6] Al-Kabbi, 1994, hal. 4.
[7] Saya berasumsi bahwa karena Nabi Ibrahim tidak hanya memiliki anak Ishaq di Tanah Kan‘an dan Nabi Ishaq juga tidak hanya memiliki anak Ya‘qub, maka di sana cukup ada satu kabilah yang beragama hanif untuk disebut masyarakat.
[8] QS Yusuf ayat 111.
[9] Nouman Ali Khan Indonesia, 2017.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.; Bayyinah Institute, 2021.
[13] Ibid.
[14] QS Yusuf ayat 55.
[15] Bayyinah Institute, 2021.
[16] Ibid.
[17] QS al-Baqarah ayat 133.
[18] QS an-Najm ayat 39-40.
[19] Nouman Ali Khan Indonesia, 2018.
[20] HR Bukhari no. 1385.
[21] Ansari, 2000.
[22] Ibid.
[23] Yaitu “keadaan asal penciptaan”.
[24] Seperti di QS al-Baqarah ayat 30, al-An‘am ayat 165, Yunus ayat 14, dan al-A‘raf ayat 129. Khalifah disimpulkan berarti pihak yang mengurus (bertanggung jawab atas urusan) ketika pihak lain tidak ada, bisa jadi karena pergi, meninggal, atau lemah, atau karena pihak lain tadi ingin memuliakan pihak yang dipasrahi urusan tersebut. Lihat pengertian lengkapnya di Mufradāt Alfādz al-Qur’ān, untuk kata خلف, di aplikasi Android الباحث القرآني. Khalifah dapat diterjemahkan menjadi “deputi”.
[25] Disebutkan dalam perkuliahan Guidance and Counseling.
[26] QS al-‘Ashr ayat 3.
[27] Ini adalah penjelasan yang saya pilih mengenai Surat al-‘Ashr, daripada penjelasan Syaikh Muhammad Abdul-Wahhab yang menjelaskan dengan: ilmu, mengamalkan ilmu, mendakwahkan ilmu, dan bersabar atas gangguan dalam dakwah. Penjelasan ini disampaikan oleh Nouman Ali Khan (lihat Pusap, 2018) dan dia mengatakan bahwa ini adalah penjelasan Ibnu Taimiyyah. Namun, saya mengecek di buku kumpulan tafsir Ibnu Taimiyyah: Tafsīr Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah tulisan Iyad Abdul-Latif Ibrahim al-Qaisi (1432 H); di bab Surat al-‘Ashr, tetapi saya tidak menemukan perkataan ini, kecuali kalimat berikut (volume 7, hlm. 183):
وإنما نجا من الخسران الذين آمنوا وعملوا الصالحات وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر، وهذا موجود في كل من خرج عن هؤلاء من أهل الشهوات الفاسدة، وأهل الشبهات الفاسدة أهل الفجور وأهل البدع