Implementasi Ilmu Fikih Guna Menanggulangi Voyeurisme dalam Kehidupan Keluarga dan Masyarakat

Oleh: Fadhilah Zahrotul Afifah

Penyimpangan seksual atau yang sering disebut dengan abnormalitas seksual adalah aktivitas dimana seseorang mencari dan mendapatkan kepuasan seksual yang berlawanan dengan norma-norma sosial dan agama.

Menurut Suyatno penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajamya, biasanya cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah menggunakan objek seks yang tidak wajar. Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan pergaulan, dan faktor genetik.

Dalil larangan peyimpangan seksual telah Allah sebutkan dalam dua tempat di Al-Qur’an dengan lafaz yang sama, Allah berfirman:

﴿ وَّالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَۙ (٢٩) إِلَّا عَلٰٓى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَۚ (٣٠) فَمَنِ ابْتَغٰى وَرَاۤءَ ذٰلِكَ فَأُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْعَادُوْنَۚ (٣١) ﴾

Artinya: (Termasuk orang yang selamat dari azab adalah) orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka tidak tercela (karena menggaulinya). Maka, barangsiapa yang mencari (pelampiasan syahwat) selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

Praktik penyimpangan seksual telah terjadi jauh sebelum masa Rasulullah ﷺ tepatnya pada jaman nabi Luth, Allah berfirman:

﴿وَلُوْطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِه أَتَأْتُوْنَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ الْعٰلَمِيْنَ﴾

Artinya: Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini).

Salah satu contoh penyimpangan seksual adalah voyeurisme atau yang bisa disebut mengintip adalah gairah seksual yang terjadi saat seseorang mengintip orang lain yang sedang melakukan aktivitas intim seperti mandi, menanggalkan pakaian, berhubungan seksual, atau saat telanjang.

Menurut Kaplan dan Kreuger, Voyeurisme disorder atau gangguan voyeurisme merupakan kondisi dimana seseorang memiliki prefensi tinggi untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan melihat orang lain yang tanpa busana atau sedang melakukan hubungan seksual. Pada beberapa laki-laki voyeurism adalah satu-satunya aktivitas seksual yang mereka lakukan; pada laki-laki lain, lebih diminati namun tidak mutlak diperlukan untuk menimbulkan gairah seksual.

Calvert menyimpulkan bahwa kegiatan voyeurism adalah salah satu kegiatan yang secara sadar sering dilakukan oleh individu-individu dengan beberapa motif. Kegiatan voyeurism lebih mengarah pada konsumsi yang berlebihan pada suatu atau banyak gambar dan informasi tentang orang lain sehingga akan tampak nyata serta akan menyalah-artikan identitas seseorang melalui media dan internet.

Seorang voyeur biasanya cenderung mudah terangsang ketika melihat wanita dan mencapai orgasme dengan masturbasi, baik dengan tetap mengintip atau dengan membayangkan apa yang telah dilihat. Terkadang mereka juga berfantasi melakukan hubungan seksual dengan korbannya, namun dalam kasus voyeurism jarang terjadi kontak antara voyeur dengan orang yang diintip.

Kasus voyeurisme ini kerap kali muncul dan hangat dibicarakan di media elektronik, banyak pihak yang menjadi korban dari kasus ini terutama kaum wanita. Namun justru kebanyakan korban banyak yang tidak melaporkannya karena hambatan psikologi seperti malu, takut, perasaan bersalah atau menyalahkan diri ataupun karena korban kurang pengetahuan tentang mekanisme pelaporan. Pelaku voyeurisme bisa melakukan apa saja untuk memuaskan hasrat seksualnya seperti dengan memasang kamera tersembunyi di kamar mandi, menguping pembicaraan seksual, mengintip melalui CCTV, hingga membayangkan orang lain melepas pakaian.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah merilis data kekeraan berbasis gender terhadap perempuan pada tahun 2021 sebanyak 338.496 kasus, yang meningkat 50% dibanding tahun sebelumnya. Pada Februari lalu, seorang pelayan restoran cepat saji di Jember merekam pelanggan wanita yang buang air di toilet restoran tempatnya bekerja, belum lama ini seorang pria dibui karena tepergok merekam tetangga indekosnya sedang mandi, bahkan voyeurisme tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat, akan tetapi bisa menjalar hingga ke instansi pemerintah seperti TNI, sebagaimana yang dikeluhkan seorang wanita ketika berkunjung ke sebuah kolam renang TNI dan mendapati kamera dipasang di toilet dimana seorang oknum TNI sengaja memasangnya di plafon.

Pelaku yang mengintip orang mandi tidak dapat dijerat dengan Pasal 35 UU Pornografi karena unsur menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi tidak ada. Namun dalam praktiknya, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 281 ke-1 KUHP tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Sehingga pelaku voyeurisme dapat dihukum seringan-ringannya 6 bulan atau denda, atau keduanya serta pelanggaran berat mendapatkan hukuman paling lama 2 tahun kurungan.

Kasus voyeurisme yang terjadi di sekitar kita disebabkan oleh banyak faktor, menurut Adi Nurdian, voyeurisme disebabkan karena tingginya rasa ingin tahu yang mendominasi tentang aktivitas seksual, faktor psikoanalitik klasik, ketidak adanya relasi dengan pasangan lawan jenis dan tingginya rasa ingin tahu tentang aktivitas seksual, kurangnya rasa percaya diri karena memiliki trauma psikologis dari perlakuan jenis kelamin, kebebasan mengakses pornografi dan mudahnya mengakses informasi, rasa trauma yang terjadi pada saat usia kanak-kanak, ketidak sengajaan melihat aktivitas seksual dan orang lain yang sedang melepas pakaian atau telanjang.

Dalam dunia psikologi, cara untuk menangani voyeurisme adalah dengan menggunakan metode psikoanalitis, medis, treatment behavioral, pekerjaan sosial, dan melalui pendekatan sosial budaya. Salah satu bentuk treatment behavioral adalah dengan pendekatan agama dan intensifikasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai seorang muslim hendaknya kita selalu meminta perlindungan dari Allah agar dijauhkan dari sifat tercela, membentengi diri dan keluarga dengan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai fikih dalam kehidupan sehari-hari adalah salah satu cara untuk mencegah voyeurisme. Islam telah mengajarkan bahwa seseorang harus meminta izin ketika ingin masuk ke rumah orang lain, karena mengintip adalah perbuatan yang tidak beradab.

﴿يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتّٰى تَسْتَأْنِسُوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَهْلِهَاۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ﴾

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Demikian itu lebih baik bagimu agar kamu mengambil pelajaran.

Seorang muslim bahkan diperbolehkan mencungkil mata orang yang mengintip ke dalam rumahnya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah d, bahwa beliau mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

((لَوِ اطَّلَعَ فِي بَيْتِكَ أَحَدٌ، وَلَمْ تَأْذَنْ لَهُ، خَذَفْتَهُ بِحَصَاةٍ، فَفَقَأْتَ عَيْنَه مَا كَانَ عَلَيْكَ مِنْ جُنَاحٍ))

Seandainya ada seseorang yang mengintip rumahmu, dan dia tidak meminta izin kepadamu, kemudian kamu melemparnya dengan kerikil sehingga tercungkil matanya, maka tidak ada dosa atasmu.

Imam Nawawi berkata:

meminta izin sebelum melihat artinya bahwa meminta izin disyari’atkan dan diperintahkan bagi seorang muslim karena dikhawatirkan dia melihat kepada yang haram. Tidak dihalalkan bagi seseorang mengintip melalui lubang pintu dan sebagainya dari apapun yang ditujukan kepadanya, seperti bisa melihat perempuan yang bukan mahram. Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya melempar mata orang yang mengintip dengan sesuatu yang ringan, jika melempar dengan benda yang ringan dan benda tersebut bisa mencungkil matanya, maka tidak ada jaminan dia mengintip di rumah lainnya yang tidak ada perempuan yang bukan mahram.

Keluarga sebagai madrasah pertama bagi seorang anak, hendaknya menanamkan pengamalan ilmu fikih sejak dini, agar anak terbiasa mengembangkan daya pikir, rasa, dan tindakannya sesuai dengan ajaran Islam. Pengenalan nilai-nilai fikih kepada anak usia dini ditekankan agar tumbuh ketertarikan pada ilmu agama, karena semua perilaku anak membentuk suatu pola perilaku, mengasah potensi positif dalam diri anak, dan minat anak terus berkembang, maka harus dilatih dengan cara yang menyenangkan agar tidak merasa terpaksa dalam melakukan pengamalan fikih. Anak yang tumbuh dari keluarga yang menanamkan ilmu fikih cenderung lebih mudah untuk mempresentasikan adab-adab yang diajarkan, salah satunya adalah adab dalam bertamu ke rumah orang lain.

Salah satu penyebab voyeurisme adalah kebebasan mengakses pornografi dan mudahnya mengakses informasi, orang tua harus tahu kapan usia ideal memberi gawai untuk anak, memberikan pemahaman tentang internet sehat dan aman, dan memberikan pendidikan seksual sesuai dengan usia perkembangan anak.

Implementasi nilai-nilai fikih juga sangat berguna sebagai patokan untuk bersikap dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, karena masyarakat menjadi objek kajian utama dalam sosiologi. Manusia sebagai makhluk sosial akan saling membutuhkan satu sama lain, lingkungan masyarakat merupakan tempat untuk mengembangkan manusia dalam bekerja sama,bergaul, dan mencari nafkah. Perbedaan kepentingan dan kemauan seseorang dengan orang lain seringkali terjadi benturan yang menimbulkan konflik dalam masyarakat. Masyarakat dengan pengamalan nilai fikih akan menimbulkan lingkungan pergaulan yang harmonis, tertib, tentram, dan aman karena setiap orang tahu adab dan hak-hak kepada tetangganya.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa voyeurisme merupakan bentuk penyimpangan seksual yang menyebabkan penderitanya mendapatkan kepuasan seksual dengan cara mengintip lawan jenis, atau mengintip suatu kegiatan seksual. Penderita voyeurisme mendapatkan kepuasan seksual saat melihat korbannya ganti baju, atau berhubungan seksual, salah satu bentuk voyeurisme adalah dengan mencuri dengar percakapan erotis seseorang seperti telepon seks, dan puncak seorang voyeur adalah dengan masturbasi. Penderita voyeurisme menikmati aktivitas seksualnya secara pasif dari sudut pandang orang ketiga, sering kali korban tidak mengancam korban namun tetap mengganggu kenyamanan korban.

Kasus pelecehan seksual di Indonesia sangat tinggi, hal ini terbukti dengan peluncuran catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang mencapai angka 338.496, yang meningkat 50% daripada tahun 2020.

Jika didapati orang yang melakukan voyeurisme, maka hendaknya korban bersikap tegas dan berteriak jika melihat pelaku, adapun jika sudah terjadi maka korban hendaknya melaporkan kasus tersebut kepada pihak yang berwenang walaupun terkadang muncul rasa takut, cemas, malu dan panik karena situasi

tersebut, akan tetapi hal ini diperlukan untuk menungkap bentuk kejahatan yang memiliki resiko pidana. Para korban juga bisa melapor pada Komnas Perempuan agar mendapat bimbingan konseling dan penanganan lebih lanjut.

Salah satu cara efektif untuk menanggulangi voyeurisme adalah dengan penanaman ilmu-ilmu fikih dalam kehidupan sehari-hari, seorang muslim yang memiliki pengetahuan fikih yang baik akan memiliki adab yang mulia dan merasa tidak nyaman ketika melihat sesuatu yang diharamkan. Orang tua sebagai tonggak utama pendidikan anak juga memiliki peran penting dalam intensifikasi pengamalan nilai-nilai fikih, dan bijak untuk memberikan kebebasan pada anak, karena kasus voyeurisme akan lebih mudah dicegah dengan penanaman nilai fikih pada usia dini.


Daftar Pustaka

  • Al-Qur’an al-Karim
  • Nurdiansyah, Adi. Perancangan Informasi Perilaku Penyimpangan Seksual Parafilia pada Remaja Melalui Buku Ilustrasi. Skripsi. Bandung: UNIKOM Bandung, 2018.
  • Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah. Shahih Bukhari. Cet I. Beirut: Dar Thauq al-Najah, 1422 H.
  • Rostiawati, Justina, dkk. Kekerasan Seksual Belajar dari Kebijakan Mancanegara. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 2014.
  • Sofiyanti, Nadia dan Puji Rianto. “Media Sosial dan Praktik-Praktik Voyeurisme.” Jurnal Cantrik. Vol. 1, No. 1 2021.
  • Sofiyanti, Nadia. Voyeurism dan Hasrat Seksual di Media Sosial (Studi Etnografi di Kalangan Mashasiswa Yogyakarta). Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2021.
  • Al-Nawawi, Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi, al-Manahij Syarh Shahih Muslim bin al-Hajaj. Cet. II. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Araby, 1392 H.
  • Apriliani, Rachel. Terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) dalam Mengatasi Gangguan Seksual Voyeurisme (Studi Kasus pada Seorang Wanita Dewasa Awal yang Belum Menikah di Surabaya). Skripsi. Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019.
  • Ramli, Firdha Yunita. Perilaku Seksual Menyimpang Tokoh Novel 86 Karya Okky Madasari Berdasarkan Teori Seks Sigmund Freud. Skripsi. Makassar: Universitas Negeri Makassar, 2018.
  • https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/peringatan-hari-perempuan-internasional-2022-dan-peluncuran-catatan-tahunan-tentang-kekerasan-berbasis-gender-terhadap-perempuan.
  • https://www.hukumonline.com/klinik/a/mengintip-orang-mandi–bisakah-dijerat-uu-pornografi-lt551008a98c873.