Implementasi Peran Mahasiswa Dalam Mencegah Penyimpangan Seksual

Oleh Abdul Rahman Ramadhan

Pendahuluan

Fenomena penyimpangan sosial lambat laun mulai menunjukkan eksistensinya, beberapa dari kita mungkin masih asing dengan istilah “LGBTQIA+”, tanpa kita sadari bahwa mereka telah melakukan transformasi dari istilah LGBT yang familier di telinga kita. Ya, penyimpangan seksual yang mereka agung-agungkan menjadi semakin bervariasi. Dalam beberapa hari terakhir, beranda media sosial kita dipenuhi berita rencana kedatangan utusan khusus Amerika Serikat, Jessica Stern dalam rangka memajukan Hak Asasi Manusia LGBTQI+ yang akhirnya dibatalkan karena adanya penolakan dari berbagai Ormas Islam seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyyah yang dimotori oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Tentunya masih membekas di benak kita ketika beberapa bulan lalu Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir melarang kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) masuk kampus dengan alasan tidak sesuai dengan nilai-nilai dan kesusilaan bangsa. Beliau mengatakan, “LGBT tidak sesuai dengan tataran nilai dan kesusilaan bangsa Indonesia. Saya melarang. Indonesia ini tata nuilainya menjaga kesusilaan.” Pernyataan beliau sontak menjadikan beliau sasaran kritik netizen di sosial media pada saat itu.

Tak bisa dipungkiri, pernyataan beliau yang menimbulkan kontroversi tersebut justru membuka mata kita betapa berbahayanya apabila pemahaman seksual yang menyimpang seperti LGBTQI+ sampai tersebar dalam kehidupan kampus. Meski demikian, pemahaman pro terhadap praktik penyimpangan dalam kehidupan kampus sendiri sejatinya bukanlah perkara yang baru, hal ini mulai terkuak ke permukaan ketika beberapa tahun lalu kita dihebohkan aktivitas mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia (UI), Depok yang bergabung dalam

sebuah organisasi bernama Support Group and Resource Center On Sexuality Studies (SGRC-UI). Organisasi ini disinyalir menjadi fasilitator para pelaku LGBT untuk tempat berkumpul, bersosialisasi dan curhat dan konseling untuk mahasiswa. Founder & Chairperson SGRC-UI, Ferena Debineva bahkan mengatakan, “SGRC UI ini organisasi tingkat Kampus. Berdiri sejajar dengan organisasi di Kampus UI lainnya, seperti Mapala UI”. Hal ini menunjukan bahwa menurut mereka LBGT dan bentuk penyimpangan seksual lainnya bukan lah sesuatu yang harus ditolak dan dicegah, melainkan justru dirangkul dan difasilisati eksistensinya.

Tak bisa kita bayangkan, bagaimana jadinya apabila mahasiswa sebagai unsur yang mempunyai peran yang sangat vital dalam tatanan kehidupan bermasyarakat terkontaminasi oleh pemahaman seksual yang menyimpang tersebut. Bukan hal yang mustahil, penyimpangan seksual di negeri kita tercinta akan meningkat dengan pesat.

Dalam kebanyakan PKKMB (Program Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru), beberapa kampus membekali para mahasiswa dengan peran dan fungsi mereka di masyarakat untuk memberikan gambaran kepada mahasiswa bagaimana mereka seharusnya bersikap. Di antaranya peran dan fungsi tersebut adalah sebagai kontrol sosial (social control), sebagai agen perubahan (agent of change), sebagai generasi masa depan (iron stock), sebagai kekuatan moral (moral force), serta sebagai penjaga nilai (guardian of value). Kelima fungsi tersebut menunjukkan besarnya pengaruh mahasiswa dalam tatanan kehidupan masyarakat. Sehingga, sebelum memberikan dampak buruk bagi masyarakat, pemikiran dan idealisme mereka yang tumbuh dari dalam kehidupan kampus harus dibentengi dari pemahaman seksual yang menyimpang.

Esai ini berisi beberapa bentuk implementasi terhadap peran yang dapat di lakukan oleh mahasiswa dalam upaya pencegahan penyimpangan seksual dalam kehidupan kampus dengan tujuan untuk memberikan gambaran dan kepada mahasiswa tentang kontribusi yang dapat mereka lakukan sebagai langkah preventif atas besarnya peran dan pengaruh mahasiswa terhadap tatanan kehidupan masyarakat yang menjadikan penyebaran penyimpangan seksual dalam kehidupan kampus merupakan sesuatu yang sangat urgen pencegahannya.

Implementasi Peran Mahasiswa

Tak bisa kita ingkari, bahwa kampus laksana rumah bagi mahasiswa, kampus merupakan tempat mahasiswa menghabiskan mayoritas waktunya untuk berbagai macam aktivitas. Sehingga, lingkungan kehidupan kampus tentunya akan memberikan pengaruh yang besar terdapat pola pikir dan prilaku mahasiswa, tidak terkecuali penyimpangan seksual. Maka, merupakan sebuah keharusan untuk mencegah penyimpangan seksual masuk dalam kehidupan kampus. Dalam upaya pencegahan penyimpangan seksual dalam kehidupan kampus, mahasiswa dapat mengambil peran dengan mengimplementasikan fungsi mereka sebagai mahasiswa tersebut di atas dalam lingkup kampus sesuai dengan kondisi kampus masing- masing. Setiap kampus memang memiliki warna almamater yang berbeda-beda, namun warna-warni tidak harus menjadi “pelangi”.

Sebagai kontrol sosial (social control), yang di dalamnya mencakup fungsi mereka sebagai kontrol politik dan penyalur aspirasi, mahasiswa dengan ilmu yang mereka miliki tentang keharaman dan kerusakan yang ditimbulkan oleh LGBT serta berbagai penyimpangan seksual lainnya dapat memberikan kritik maupun saran serta solusi agar segala bentuk penyimpangan seksual tidak masuk ke dalam kehidupan kampus. Sehingga, sikap kepedulian terhadap sesama dan keinginan untuk menyebarkan kebaikan dan mencegah tersebarnya keburukan sangat

dibutuhkan dalam menjalankan peran yang pertama ini. Rasulullah ﷺ bersabda,

“Barang siapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya1

Dan cukuplah potongan dari firman Allah dalam surat At-Taubah ayat ke 71 sebagai pemantik semangat kita untuk menjalankan peran ini, Allah berfirman,

1 HR. Muslim no. 1893.

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang munkar..”2

Tak terhitung berapa perubahan yang lahir didasari oleh pemikiran idealis para mahasiswa. Idealisme tersebut tentunya diawali oleh sikap kritis dan kepedulian mahasiswa terhadap keadaan sekitar, dan tidaklah pemikiran kritis tersebut dimulai kecuali dalam lingkup kampus, kemudian tinggal bagaimana membenahi bagaimana cara menyampaikan kritik tersebut dengan cara yang benar dan tidak melanggar syariat, tidak dengan melakukan aksi dan demo di depan rektorat kampus, karena kepedulian tersebut tidak hanya dapat diwujudkan dalam bentuk jasa, melainkan dapat juga melalui kegiatan-kegiatan positif seperti diskus ilmiah, penyebaran buletin, hingga penulisan jurnal ilmiah yang saat ini juga mulai di lakukan oleh kaum liberal untuk membenarkan pemahaman menyimpang mereka agar terkesan ilmiah. Hal ini terlihat dari mulai bertebarannya jurnal ilmiah dari kaum liberal di berbagai platform publikasi jurnal ilmiah yang apabila tidak dilawan dengan jurnal ilmiah dengan pemahaman yang benar, pemahaman seksual yang menyimpang akan semakin mudah masuk ke dalam kehidupan kampus melalui jurnal ilmiah.

Sebagai agen perubahan (agent of change), mahasiswa tidak hanya berperan sebagai penggagas, melainkan juga melakukan tindakan nyata terhadap bibit munculnya penyimpangan sosial di kehidupan kampus, misalnya melaporkan ke pihak yang memiliki seperti bagian kemahasiswaan, ketika mendapati mahasiswa yang dicurigai memiliki pemahaman yang menyimpang dalam masalah seksual, atau dengan tindakan menolak pembentukan UKM yang memfasilitasi eksistensi LGBT seperti SGRC yang ada di Universitas Indonesia (UI), sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing. Hendaknya kita merenungkan sabda Nabi Muhammad ﷺ dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata

bahwa beliau mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

2 QS. At-Taubah (9): 71.

“Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkari lah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.”3

Tidak sedikit pergerakan dan pemikiran mahasiswa yang mengakibatkan perubahan besar, bahkan hingga skala negara. Kita tentu pernah mendengar bagaimana pergerakan mahasiswa pada tahun 1998 bisa melengserkan seorang presiden Soeharto pada kala itu, berbagai tekanan yang di pelopori oleh mahasiswa dari berbagai penjuru negeri tersebut pada akhirnya memaksa penguasa orde baru meletakkan kekuasaannya. Beberapa tahun lalu, kita juga menjadi saksi bagaimana ketika ribuan mahasiswa muslim dan ormas Islam yang turun ke jalan dalam Aksi 212 pada tahun 2016 memberikan pengaruh terhadap penetapan hukum seorang Basuki Tjahaja Purnama yang pada saat itu di dakwa sebagai penista agama Islam. Kita tentu tidak membenarkan adanya pergerakan semacam ini, namun ibrah yang kita ambil adalah bagaimana pergerakan mahasiswa mempunyai dampak yang sangat besar dalam lingkup negara, jika dalam lingkup negara saja demikian, bagaimana dengan lingkup kampus yang perbandingannya jauh lebih kecil.

Sebagai generasi masa depan (iron stock), mahasiswa hendaknya berusaha mewujudkan masa depan yang berisi generasi islami dan menjalankan syariat Islam secara utuh khususnya dalam permasalahan penyimpangan seksual, serta belajar dari generasi terdahulu tentang hukuman yang Allah timpakan kepada mereka atas perbuatan menyimpang yang mereka lakukan. Allah telah menjelaskan

dalam firman-Nya dalam surat Hud ayat ke-82 sampai 83 yang berbunyi,

Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.”4

3 HR. Muslim no. 49.

4 QS. Hud (11): 82-83.

Sebagai kekuatan moral (moral force), mahasiswa seharusnya memiliki pola kampus sebagai lembaga pendidikan tertinggi merupakan wadah untuk pembentukan moral mahasiswa, mahasiswa tidak sepatutnya ragu untuk menunjukkan indahnya moral keislaman membangkitkan moral-moral tersebut dalam kehidupan kampus. Selain kampus dengan latar belakang keislaman, hampir mustahil untuk kita dapati kampus yang melarang mahasiswa dan mahasiswi untuk berpacaran, bercampur baur dengan lawan jenis, mengharuskan untuk menutup aurat, padahal secara tegas Allah telah memperingatkan larangan berpacaran dalam firman-Nya yang berbunyi,

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”5

Lingkungan dengan moral keislaman yang rendah tersebut tak jarang menjadikan mahasiswa memiliki obsesi untuk melakukan hal-hal yang ada di sekitarnya seperti keinginan untuk memiliki pacar, akses agar bisa akrab terhadap lawan jenis, serta berpakaian mengikuti tren meskipun mengumbar aurat. Ketika obsesi tersebut tidak bisa terwujud, akan muncul berbagai keburukan seperti fantasi seks yang berlebihan, hingga peralihan orientasi seks yang justru beralih ke sesama jenis karena trauma yang timbul akibat tidak bisa mendapatkan pasangan lawan jenis tersebut. Maka sudah sepatutnya, seorang mahasiswa menjauhi perbuatan- perbuatan tersebut guna menghidupkan moral-moral keislaman di kehidupan kampus.

Sebagai penjaga nilai (guardian of value), mahasiswa harus menghidupkan nila-nilai keislaman dalam kehidupan kampus menurut pemahaman yang lurus guna menangkal masuknya pemahaman liberal, mendakwahkan kepada seluruh civitas tentang betapa mulianya berada dalam fitrah Islam yang lurus dalam masalah seksual, menyadarkan kepada seluruh mahasiswa bahwa Allah menciptakan fitrah laki-laki dan perempuan berpasang-pasangan untuk meraih ketenteraman hidup di dunia, dan tidaklah ketenteraman akan diperoleh melalui

5 QS. Al-Isra (17): 32.

hubungan sejenis yang menyimpang. Tentunya tidak asing di telinga kita semua firman Allah yang berbunyi,

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”6

Allah juga berfirman,

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”7

Allah telah menjelaskan bahwa ketenteraman akan diperoleh melalui hubungan sah antara laki-dan perempuan. Bahkan sebaliknya, hubungan menyimpang dengan sesama jenis justru menjadi sumber berbagai macam masalah kesehatan yang memiliki risiko tinggi seperti depresi, kanker, gangguan pola makan, serta penyakit akibat gangguan hormon.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, telah jelas bagi kita besarnya peran mahasiswa terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat. Maka sebelum terlambat, pemahaman seksual yang menyimpang dalam kehidupan kampus merupakan sesuatu yang sangat urgen untuk dicegah penyebarannya oleh mahasiswa dengan cara mengimplementasikan peran mereka sebagai kontrol sosial (social control), sebagai agen perubahan (agent of change), sebagai generasi masa depan (iron stock), sebagai kekuatan moral (moral force), serta sebagai penjaga nilai (guardian of value), dalam kehidupan kampus. Setiap mahasiswa, dengan segala kesadaran

6 QS. Adz-Dzariyat (51): 49.

7 QS. Ar-Rum (30): 21.

dan kepeduliannya terhadap maraknya penyimpangan seksual yang mulai merambah kehidupan kampus seharusnya turut andil mengambil peran tersebut, tak peduli gelar apa pun yang kita perjuangkan, kampus mana pun yang kita banggakan, dan warna almamater apa pun yang kita kenakan, karena warna-warni tidak harus menjadi “pelangi”.

DAFTAR PUSTAKA

Al Quran Al Karim

An-Naisaburi, Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi, Al-Jami` Ash-Shahih.

https://tafsirweb.com/

https://news.detik.com/berita/d-3125654/menristek-saya-larang-lgbt-di-semua- kampus-itu-tak-sesuai-nilai-kesusilaan

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20221203054958-106- 882253/utusan-khusus-as-bidang-lgbtqi-jessica-stern-batal-ke-indonesia

https://www.klikdokter.com/psikologi/kesehatan-mental/kaum-lgbt-lebih-banyak- alami-masalah-kesehatan-ini

https://www.kompas.com/edu/read/2021/06/25/164902471/5-peran-dan-fungsi- mahasiswa-dalam-masyarakat-maba-harus-tahu/

https://www.republika.co.id/berita/o1khvv361/pengakuan-mahasiswa-ui-soal-lgbt