Intensifikasi Komunikasi Keluarga Dalam Mencegah Radikalisme Pada Remaja

PENDAHULUAN

Remaja adalah sosok individu yang digambarkan memiliki tenaga yang kuat dan rasa ingin tahu yang tinggi. Dalam tahap perkembangan anak, masa remaja merupakan masa fluktuatif yang mana remaja sedang dalam peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Salah satu perubahan yang terjadi pada remaja adalah perubahan pola pikir moralitas yang diungkapkan oleh Kohlberg berada pada Moralitas Konvensional, proses internalisasi standar otoritas yang dianggapnya sebagai “baik” (Papalia & Fieldman, 2014). Namun, tidak jarang, informasi yang diterima oleh remaja adalah tepat dan benar. Menurut survei yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dilansir dari CNN Indonesia, 85 persen anak muda rentan terjerat ke dalam radikalisme yang salah satu media inkubatornya adalah media sosial. Data dari Databoks, (Cindy Mutia Annur, 2020) mengungkapkan bahwa pengguna media sosial tertinggi kedua di Indonesia adalah kelompok umur 18-24 tahun. Begitu pun durasi waktu yang digunakan untuk berselancar di Internet untuk kelompok 16-24 tahun berada di angka 7 jam 59 menit, atau hampir delapan jam sehari (DataReportal, 2020). Dengan demikian, arus radikalisme dalam media sosial ataupun internet dapat dengan mudah masuk dan mempengaruhi pola pikir dari individu remaja. 

Hal tersebutlah yang menjadikan remaja sebagai ladang baru bagi pemikiran radikalisme yang disebarkan oleh oknum-oknum tertentu. Pun demikian, tingkat literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah, yaitu berada di tingkat 62 dari 70 negara yang mengikuti asesmen Program for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2019 yang dilakukan oleh Organization for Economic Co-Operation and Development (Perpustakaan Kementerian Dalam Negeri, 2021). Sehingga, perlu adanya intervensi dan bimbingan untuk mengarahkan remaja yang labil agar tidak jatuh ke dalam pengaruh radikalisme. Hal ini dapat dilakukan melalui lingkungan yang paling dekat dari anak remaja tersebut, yaitu keluarga. Pada lingkungan keluarga perlu dibangun interaksi atau komunikasi untuk mewujudkan suasana yang harmonis dan untuk membendung dari hal yang negatif. Namun saat ini, kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak dapat berpengaruh pada sikap sosial anak (Sari et al., 2017). Oleh karena itu, komunikasi yang baik antara anak dengan orang tua harus dilakukan.

Salah satu upaya untuk mencegah radikalisme pada remaja adalah dengan adanya bimbingan dan arahan dari keluarga, utamanya dari kedua orang tuanya sesuai dengan nilai-nilai Islam yang moderat dan rahmatan lil ‘alamin. Pengasuhan dan bimbingan anak adalah tanggung jawab kedua orang tua, baik ayah dan ibu. Allah berfirman, 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ‎﴿٦﴾‏

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Q.S. At-Tahrim [66]: 6). Dari ayat ini, dapat dipahami kewajiban menjaga diri dari dan juga tanggung jawab untuk menjaga keluarga. Maka dari itu penulis mencoba untuk mengimplementasikan intervensi berbasis komunikasi keluarga yang intensif dalam pencegahan radikalisme pada keluarga.

ISI

Radikalisme berkembang pesat dan menyebar melalui banyak media, di antaranya adalah melalui pengaruh lingkungan dan juga media sosial. Pemahaman ini dapat ditemukan di lingkungan sekitar remaja, seperti sekolah. Hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa secara umum, guru di Indonesia dari tingkat TK/RA hingga SMA/MA memiliki opini intoleran dan radikal yang tinggi (PPIM, 2018). Selain pengaruh lingkungan, radikalisme bertumbuh subur dengan kemudahan penyebaran informasi seperti dengan keberadaan akun anonim yang berisi ajakan untuk menentang pemerintah dan ajakan untuk bersikap ekstrem dalam beragama. Akun-akun seperti ini diketahui juga digerakkan oleh bot— akun yang dijalankan oleh mesin (Sunarto, 2017). Strategi yang digunakan dalam penyebaran paham ini adalah menjadikan media sosial sebagai basis propaganda bahkan untuk perekrutan anggota baru. Narasi yang digunakan dapat berupa narasi yang non-konfrontatif, sehingga perlu ditinjau kembali muatan dibalik narasi tersebut. Penggunaan jejaring sosial mempermudah komunikasi antara satu kelompok radikal dengan kelompok yang lainnya. Gerakan ideologis ini dianggap tidak hanya membahayakan kerukunan dalam masyarakat, namun juga dapat membahayakan sektor pertahanan, keamanan, stabilitas, dan ekonomi-politik bangsa (Nafi’ Muthohirin, 2015).  

Oleh karena itu, dalam memahami suatu informasi, seorang remaja butuh untuk mengkomunikasikannya dengan orang tua. Komunikasi antara orang tua dan anak memiliki implikasi pada perkembangan emosi anak (Setyowati, 2013). Anak akan kenal dengan dirinya dan orang lain, serta paham akan perasaannya dan perasaan orang lain.  Komunikasi yang baik membentuk kepribadian anak yang baik pula, sehingga orang tua wajib memiliki hubungan komunikasi yang baik dengan anaknya. Hal ini selaras dengan kisah Luqman dalam Surat Luqman ayat 18-19, Allah berfirman,

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ ‎﴿١٨﴾‏ وَٱقْصِدْ فِى مَشْيِكَ وَٱغْضُضْ مِن صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلْأَصْوَٰتِ لَصَوْتُ ٱلْحَمِيرِ ‎﴿١٩﴾‏

18. Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. 19. Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Q.S. Luqman [31]: 18-19)

Dari ayat tersebut, setelah Luqman memberikan nasihat kepada anaknya untuk tidak mempersekutukan Allah, Luqman mengkomunikasikan kepada anaknya beberapa nasihat terkait dengan tingkah laku dan kepribadian yang baik. Luqman menasihati anaknya untuk tidak bersikap sombong, angkuh, dan senantiasa rendah hati. Dari sini, dapat dipahami bahwa karakteristik orang tua yang dicontohkan dalam Al-Quran bukan hanya sebagai seorang ayah dan ibu biologis saja, namun juga sebagai karakter paedagogik yang mengamalkan, mengajarkan, dan mengembangkan aspek psikologis dan kognitif anak juga (Faizin & Najib, 2020). Menurut Goodman dan Dyer (Goodman & Dyer, 2020), religiositas pada orang tua memiliki dampak positif dengan transmisi dan perkembangan kepercayaan anak, walaupun tidak setara. Oleh karena itu, peran dan figur orang tua dalam menjadi contoh yang baik dapat menghindarkan remaja dari paham radikalisme.  

Komunikasi antara orang tua dan remaja yang baik dalam keluarga adalah komunikasi yang bersifat terbuka, demokratis, dan dengan intensitas tinggi terbukti memiliki pengaruh terhadap kenakalan dan perilaku berisiko pada remaja. Baik orang tua dan anak perlu untuk menjaga komunikasi yang baik dalam pencegahan radikalisme. Akar radikalisme yang berasal dari prasangka dan rendahnya toleransi dapat diatasi dengan komunikasi. Namun, pengaruh yang terjadi bersifat dua arah sehingga komunikasi dengan bijak dan demokratis diperlukan. Miklikowska menyatakan bahwa hubungan komunikasi dalam transmisi prasangka dan toleransi bersifat dua arah (Miklikowska, 2016). Sehingga, bukan hanya bentuk komunikasi satu arah oleh orang tua saja yang perlu dilakukan, namun diskusi dua arah antara orang tua dan remaja. Dengan diskusi ini, orang tua dapat menjadi penyaring dan pembimbing bagi informasi yang anak remaja dapatkan dari sumber-sumber yang anonim. Kontrol orang tua yang otoritatif, akan memberi pengertian kepada anak mengenai pemahaman yang moderat. 

Dalam menanamkan sikap toleransi dan Islam yang moderat pada anak, perlu ada figur yang dapat dicontoh. Sebuah figur diperlukan agar anak dapat mengamati dan meniru menurut teori pembelajaran sosial, yang mana tokoh Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dapat dijadikan contoh dalam bertoleransi dan menganut ajaran Islam. Pada 622 Masehi, Nabi Muhammad -shallahu ‘alaihi wa sallam- mengadakan Perjanjian Madinah yang tidak hanya teruntuk kaum Muslimin, namun juga untuk kaum Nasrani dan Yahudi. Dalam pasal ke-25 tertulis, “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga kebebasan ini berlaku bagi sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga”. Dari pasal-pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa perbedaan akidah dan agama tidak mengurangi rasa tanggung jawab umat Islam untuk membangun kerukunan dalam beragama dan bermasyarakat yang universal dengan Ahl al-Kitab. Dari perilaku beliau juga dapat dicerminkan bagaimana cara memupuk rasa toleransi baik pada sahabat yang senior maupun junior. Figur Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dapat digunakan sebagai figur yang dicontoh dan dijadikan pedoman saat komunikasi antara orang tua dan remaja berlangsung sehingga remaja memiliki empati, rasa toleransi terhadap perbedaan, dan mampu membangun inklusivitas.    

Komunikasi dengan anak yang intensif akan menghasilkan sikap sosial yang baik dan sikap toleran pada remaja. Untuk meningkatkan intensitas komunikasi pada keluarga, perlu adanya waktu yang disediakan khusus untuk berbicara dan berbincang dengan anggota keluarga lainnya, termasuk anak remaja. Sikap orang tua juga harus terbuka dan peduli kepada anaknya, sehingga anak dapat mencurahkan pemahaman yang ia miliki dengan nyaman tanpa takut dimarahi terlebih dahulu. Kemudian, orang tua juga dapat memberikan sesi diskusi aktif mengenai isu radikalisme namun membahasnya dari sisi Islam yang moderat dan penuh toleransi. Walaupun, dalam toleransi beragama, perlu adanya batasan-batasan yang harus diperhatikan agar konsep akidah dan agama tetap terjaga.   Terdapat tiga prinsip yang harus dipegang teguh dalam bertoleransi. Pertama, toleransi Islam hanya sebatas sosial kemasyarakatan sejauh tidak melanggar ketentuan teologis Islam. Kedua, toleransi Islam dalam beragama hanya sebatas membiarkan dan memberikan suasana kondusif bagi umat lain dalam beribadah. Ketiga, umat Islam wajib memelihara kemurnian akidah dan syariah (Jamrah, 2015). Oleh karena itu, dalam mencegah radikalisme pada remaja, yang dapat dilakukan dalam keluarga adalah mengadakan komunikasi dua arah yang intensif, bersifat terbuka dan demokratis, serta menanamkan rasa toleransi keragaman agama pada remaja sehingga remaja terhindarkan dari paham yang menyimpang. 

PENUTUP

Perkembangan zaman dan arus informasi yang pesat dapat berakibat mudahnya penyebaran paham radikalisme. Remaja, sebagai pengguna media sosial yang berada pada tahap perkembangan pencarian jati diri, rentan disusupi oleh paham yang radikal. Sehingga, perlu adanya sebuah langkah pencegahan dan intervensi terkait radikalisme pada remaja, utamanya dari lingkup yang paling rendah, yaitu keluarga. Intensifikasi komunikasi antara orang tua dan remaja mampu mencegah hal tersebut. Komunikasi yang bersifat dua arah, demokratis, penuh toleransi, dan intensif harus dilakukan agar remaja dapat memahami bahwa Islam yang moderat tidak lepas dari toleransi sesama umat beragama dan memiliki empati kepada sesama manusia. 

DAFTAR PUSTAKA

Cindy Mutia Annur. (2020, November 23). Berapa Usia Mayoritas Pengguna Media Sosial di Indonesia? https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/11/23/berapa-usia-mayoritas-pengguna-media-sosial-di-indonesia

DataReportal. (2020, February 18). Digital 2020 Indonesia. https://datareportal.com/reports/digital-2020-indonesia

Faizin, O. :, & Najib, F. A. (2020). KONSTRUKSI PESAN-PESAN LUKMAN AL-HAKIM DALAM QS. LUQMAN: (Analisis Qur’anic Parenting). At-Tajdid: Jurnal Pendidikan Dan Pemikiran Islam, 3(2), 111–125.

Goodman, M. A., & Dyer, W. J. (2020). From Parent to Child: Family Factors That Influence Faith Transmission. Psychology of Religion and Spirituality, 12(2), 178–190. https://doi.org/10.1037/rel0000283.supp

Jamrah, S. A. (2015). TOLERANSI ANTARUMAT BERAGAMA: PERSPEKTIF ISLAM. Jurnal Ushuluddin, 23(2), 185–200.

Miklikowska, M. (2016). Like parent, like child? Development of prejudice and tolerance towards immigrants. British Journal of Psychology, 107(1), 95–116. https://doi.org/10.1111/bjop.12124

Nafi’ Muthohirin. (2015). Radikalisme Islam dan Pergerakannya di Media Sosial. Afkaruna: Indonesian Interdisciplinary Journal of Islamic Studies, 11(2), 240–259. https://doi.org/10.18196/AIIJIS.2015

Papalia, D. E., & Fieldman, R. D. (2014). Experience Human Development Menyelami Perkembangan Manusia Edisi 12, Buku 2. In Salemba Humanika. Jakarta.

Perpustakaan Kementerian Dalam Negeri. (2021, March 23). Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah, Ranking 62 Dari 70 Negara. Tingkat Literasi Indonesia di Dunia Rendah, Ranking 62 Dari 70 Negara

PPIM. (2018). Pelita yang meredup: Potret Keberagaman Guru Indonesia. In Jakarta: UIN Jakarta.

Sari, F. P., Hasyim, A., & Pitoewas, B. (2017). Pengaruh Intensitas Komunikasi Orang Tua Dan Anak Terhadap Sikap Sosial Siswa. Jurnal Kultur Demokrasi, 5(8).

Setyowati, Y. (2013). Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus Penerapan Pola Komunikasi Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Emosi Anak pada Keluarga Jawa).

Sunarto, A. (2017). DAMPAK MEDIA SOSIAL TERHADAP PAHAM RADIKALISME. Nuansa: Jurnal Studi Islam Dan Kemasyarakatan, 10(2).