Manifestasi Spirit Fikih Melalui Implementasi Regulasi Keluarga Anti Penyimpangan Seksual

Oleh: Dina Kamelia Sukma

Pendahuluan

Penyimpangan seksual menurut KBBI dapat diartikan sebagai perilaku seksual yang menyimpang. Konotasi seksual yang berkaitan dengan seks (jenis kelamin), berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Penyimpangan seksual merupakan salah satu cerminan degradasi moral yang turut mengancam generasi bangsa. Tak ayal dalam kehidupan sehari-hari, acap kali masyarakat diresahkan dengan berbagai fenomena penyimpangan seksual, salah satunya yakni eksistensi perilaku seks sesama jenis (homoseksual) di berbagai daerah. Berdasarkan data yang dilansir dari Jawapos.com, menurut Kepala Dinas Kesehatan Nanik Sukristina menerangkan bahwa setidaknya terdapat 663 kasus HIV di Surabaya selama tahun 2022, adapun faktor penularan HIV antara lain yakni sebesar 44,04% dari perilaku homoseksual.

Mirisnya berbagai kanal digital masif memberitakan problematik paradigma yang menyangkut hak asasi manusia, kerap kali dibenturkan dengan masalah tersebut. Maraknya kasus homoseksual kian menjadi patut untuk dikaji secara komprehensif. Homoseksual menjadi isu yang menarik untuk didiskursuskan kembali, mengingat berkaca pada kasus serupa yang sudah pernah terjadi di masa lampau sebagaimana historis kaum terdahulu yang diabadikan dalam Alquran. Apabila ditinjau secara intensif, sejatinya Allah telah melarang dengan tegas homoseksual, tidak luput dari maksud syariat yang hendak diungkapkan dari hikmah larangan-Nya.

Homoseksual sebagai penyakit menular, layaknya ibarat virus yang menyerang moralitas manusia. Para pelaku homoseksual akan mencari pasangan yang serupa, hal tersebut berimplikasi merebaknya estafet penyimpangan seksual. Sekalipun orang-orang yang cacat mental seksualnya hanya sedikit, namun apabila dibiarkan secara terus menerus maka akan menjadi bertambah banyak. Logikanya apabila setiap orang terjangkit virus penyimpangan seksual, maka akan merugikan diri sendiri maupun umat manusia pada umumnya. Penyimpangan seksual dapat mengancam kelestarian dan keberlangsungaan regenerasi umat, yang dapat mengakibatkan akhir dari kepunahan umat manusia di muka bumi.

Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, di mana segala sisinya diatur secara komprehensif. Hal inilah yang kemudian membuat hukum Islam selalu mengikuti perkembangan zaman. Menyelesaikan prombematik yang kian terjadi di masyarakat, melalui kajian-kajian pendalaman ilmu fikih. Turut memandu tata cara kehidupan umat manusia, karena Islam hadir sebagai penyempurna ajaran-ajaran ilahi. Merespons dinamika persoalan yang terjadi dalam kehidupan.

Pembahasan

Segala bentuk pemenuhan kebutuhan seks yang melanggar garis-garis aturan ajaran agama, dapat dimaknai sebagai penyimpangan seksual perspektif Alquran. Bukan tanpa tujuan Allah mengatur sedemikian rupa, melainkan terdapat hikmah agar terhindar dari berbagai penyakit jenis kelamin seperti halnya AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan lain sebagainya. Alquran, hadis dan fikih sebagai nilai-nilai agama Islam yang turut mewarnai penggiringan persepsi boleh atau tidaknya sikap yang dikembangkan berkaitan peran jenis kelamin. Pria maupun wanita pada intinya memiliki karakteristik yang sama masalah seksual, berkaitan dengan moralitas dan kesuciannya menurut Alquran.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam menggali hukum, istinbath merupakan salah satu upaya dalam menggali hukum Islam. Menurut ‘Ali Hasaballah, terdapat dua cara pendekatan ulama dalam melakukan istinbath yaitu melalui pendekatan kaidah-kaidah kebahasaan, dan melalui pengenalan makna atau maksud syariah (maqashid al-syariah). Komposisi syariah terdiri atas masalah ketuhanan dengan berbagai implikasinya (al-i’tiqadiyyat), persoalan moralitas (al-khuluqiyyat), dan hukum-hukum praktis keseharian (al-‘amaliyyat) yang secara terminologi Islam lazim disebut fikih. Pilar fikih menjadi hal yang konkret dari segenap komponen tersebut dalam merespons masalah-masalah praktis dalam kehidupan, yang berimplikasi dari prilaku individu maupun masyarakat. Menempati garda terdepan dengan diktum-diktum hukum sebagai tawaran penyelesaian aneka persoalan dalam masyarakat. Fikih dan ushul fikih, sekalipun dua terminomogi yang berbeda, tetapi memiliki keterkaitan dalam ragkaian proses istinbath al-ahkam.

Berdasarkan sudut pandang fikih, instrumen negara sangat diperlukan untuk membantu tujuan syariat ke dalam kehidupan umat sehari-hari demi terwujudnya spirit kemaslahatan. Nilai-nilai luhur ajaran agama dapat diapresiasi dan diserap secara maksimal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, prinsip maqashidus syariah dapat diadopsi oleh hukum positif untuk kebaikan umat manusia. Konsep syariah dapat dipahami sebagai “organisme yang hidup” ajaran agama, yang berarti sebagi ruh dan subtansinya secara keseluruhan mempunyai komponen yang terdiri dari berbagai organ. Sebuah organisme yang bergerak dinamis melalui setiap teks yang kompatibel dengan berbagai perubahan yang terjadi berdasarkan perkembangan zaman. Bergerak dinamis mengantarkan umat manusia menuju konteks kehidupan yang bermartabat dan bermaslahah dalam ajaran agama sesuai prinsip maqashidus syari’ah.

Islam sebagai ajaran yang universal mengandung berbagai prinsip tentang hak asasi manusia, walaupun hak-hak itu secara eksplisit tidak diberi nama HAM. Sejatinya apabila merujuk pada Alquran dan sunah dengan beberapa ayat dan hadis yang dapat dipahami bahwa syariah Islam menempatkan manusia dalam kedudukan yang terhormat. Setiap pribadi manusia terlahir membawa kemuliaan martabat, walaupun dari beragam bangsa, ras, serta agamanya. Kehormatan manusia akan terus melekat sampai meninggal dunia, selagi dapat memelihara amal saleh dan bertakwa kepada Tuhan. Sebaliknya, apabila tidak lagi beriman dan beramal saleh, maka kehormatan manusia akan jatuh berada paling rendah dan pada posisi merugi. (QS. Al-Tin/95:5-6 dan al-‘Ashr/103:2-3).

Persoalan yang berkenaan dengan penyimpangan seksual sangat berkorelasi dengan ilmu fikih. Mengingat karakter fikih yaitu mempunyai sandaran wahyu, mempunyai watak komprehensif, mempunyai sifat-sifat keagamaan, mempunyai keterkaitan dengan moralitas, mempunyai dampak hukuman duniawi dan ukhrawi, mengayomi kemalahatan individu dan kolektif, aplikatif dan kompatibel dengan hukum positif. Penyimpangan seksual sebagai hal yang diharamkan menurut Islam, dapat merusak regenerasi umat manusia dan menciderai kehormatan kedudukan manusia sebagai sebaik-baiknya ciptaan Allah.

Dalam literatur Islam, dikatakan bahwa liwath merupakan homoseksual kelainan yang terjadi antara sesama kaum lelaki. Islam sangat memperhatikan perlindungan kehormatan baik pria kepada maupun kepada wanita. Banyak hikmah yang diperoleh dari pengharaman penyimpangan seksual. Dari hasil penelitian kedokteran menyatakan bahwa lebih dari sekitar 70 pelaku penyimpangan seksual terjangkit penyakit AIDS, yakni kekurangan imunitas yang dibutuhkan tubuh. Adapun dasar larangan homoseksual telah ditegaskan pada firman Allah dalam QS. An-Naml: 54-55 yang berbunyi;

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ . أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ

Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?” “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu).

Fahisyah dapat dimaknai sebagai suatu tindakan/perbuatan keji yang dapat mendatangkan murka Allah. Sejatinya setiap makhluk telah diciptakan secara berpasang-pasangan. Kemampuan seksual yang diciptakan pada manusia laki-laki dan perempuan untuk mencapai tujuan yang mulia yaitu memperbanyak anak dengan tujuan melanjutkan keturunan umat manusia. Berketurunan adalah hal yang pokok, sesungguhnya syahwat diciptakan sebagai alat pendorong yang menjadi perantara mendapatkan anak dengan sebab bersenggama.

Penguatan literasi fikih seksualitas dalam keluarga sangat penting, di mana peran keluarga sangat esensial dalam menanamkan dimensi keimanan. Nabi muhammad SAW awal mula menyebarkan agama Islam melalui dakwah dalam lingkup keluarga, karena keluarga merupakan satuan kecil yang akan berdimensi dan memiliki pengaruh besar dalam sistem kemasyarakatan. Upaya preventif untuk mencegah penyimpangan seksual dapat dilakukan dengan mempertebal keimanan diri kepada Tuhan, karena manusia yang bertakwa tidak mungkin akan melakukan hal-hal yang dilarang agama. Terjerumusnya manusia mengikuti hawa nafsunya, karena akalnya tidak beroperasi secara maksimal. Cara pandangnya masih dikelilingi oleh kabut-kabut syahwat yang liberal, keinginan hawa nafsu yang tidak diimbangi dengan pemikiran yang rasional membawa bencana bagi diri sendiri maupun orang lain.

Berkanaan masalah kebebasan pribadi, Imam Zaid al-‘Abadin berpandangan dalam Risalah al-Huququq-nya beliau memaparkan hak-hak anggota badan, telinga, lidah, mata, kaki, tangan, perut, dan kemaluan seseorang terhadap dirinya. Peyalagunaan atau mencemarkan badan termasuk perbuatan yang salah karena melanggar hak badannya sendiri dan juga hak Allah yang telah diberikan kepadanya sebagai amanat. Hak individu dalam Islam tidak hanya dibatasi dengan hak masyarakat, melainkan juga hak dirinya sendiri dan hak Tuhan. Islam tidak membenarkan seseorang merugikan dirinya sendiri, sebab dosa atas tindakan amoral adalah sebab kehancuran. Pandangan ini lahir dari kecintaan dan keprihatinan Allah atas umat manusia.

Kontribusi gagasan An-Na’im dalam kerangka metodologinya, dapat digunakan sebagai alternatif bagi pencarian dasar legitimasi qurani bagi upaya penegakan HAM. Melalui gagasan An-Na’im, HAM memperoleh dukungan yuridis dan ideologis dari Alquran sebagai sumber ajaran Islam yang fundamental. Hal ini diharapkan akan membawa dampak psikologis, ideologis, dan kultural bagi manusia khususnya umat Islam untuk tidak memandang HAM sebatas buah pemikiran manusia semata, melainkan sebagai bagian integral dan universal dari ajaran agama yang harus diyakini dan diamalkan serta diperjuangkan sebagaimana sistem nilai sendi ajaran agama. Dalam konteks, penegakan HAM dapat dipahami sebagai ibadah, sebagaimana pengamalan ajaran agama lainnya yang sama-sama tercantum dan mendapat legitimasi Alquran.

Penelitian Juhaya tentang Epistemologi Hukum Islam: Suatu Telaah tentang ‘Illat dan Tujuan Hukum Islam serta Metode-metode Pengujian Kebenerannya dalam Sistem Hukum Islam menurut Ibn Taimiyah, menghubungkan unsur sumber hukum, ‘illat produk hukum, dan tujuan hukum. Adanya larangan peyimpangan seksual sebagaimana firman Allah yang termaktub dalam Aquran merupakan salah satu sumber hukum pokok yang memiliki validitas tinggi sebagai acuan normatif bagi produk hukum. Pemahaman terhadap sumber hukum dengan doktrin teologis sebagai kerangka acuan dan cara berpikir yang didasarkan pada pandangan bahwa Allah dan Rasul-Nya memiliki otoritas pembuat hukum. Tuntutan keadaan maraknya kasus penyimpangan seksual, yakni pranata sosial sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan produk hukum. Produk yang mencerminkan tuntutan zamannya terikat oleh dimensi ruang dan waktu, cerminan kehendak pembuat hukum dan respons yang diarahkan untuk meningkatkan kemaslahatan umat manusia.

Penutup

Islam telah mengizinkan pemenuhan naluri seks dengan cara-cara yang sah sebagaimana tuntunan ajaran agama, dan tidak mentolerir setiap perilaku seks yang menyimpang. Bukan tanpa tujuan syariat melarang adanya penyimpangan seksual, melainkan banyak hikmah yang dapat dianalisa secara ilmu pengetahuan, salah satunya yaitu menangkal dari kemudaratan bagi umat manusia. Selain itu, juga mencegah kepunahan manusia di muka bumi, yang berkorelasi dengan konsep menjaga keturunan dalam maqashid syariah. Oleh karena itu, spirit fikih yang berorientasi pada keluarga anti penyimpangan seksual seyogianya dimemanifestasikan dalam implementasi regulasi kemasyarakatan guna menanggulangi masifnya penyimpangan seksual.

Daftar Pustaka

  • Al-Mursi Husain Jauhar, Ahmad. Maqashid Syariah. Jakarta: AMZAH, 2013.
  • Bisri, Ciik Hasan. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam Dan Pranata Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
  • Djumhur Salikin, Adang. Reformasi Syariah Dan HAM Dalam Islam. Yogyakarta: Gama Media, 2004.
  • Hannah, Neng. “Seksualitas Dalam Alquran, Hadis Dan Fikih: Mengimbangi Wacana Patriarki.” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 2, no. 1 (2017): 45–60.
  • Muhammad Ridhwi, Sayyid. Perkawinan Dan Seks Dalam Islam. Jakarta: Lentera, 1996.
  • Rachma Maulidini, Rafika. “Ada 663 Kasus HIV Di Surabaya, Perilaku Homoseksual 4,04 Persen.” Jawapos. Last modified 2022. Accessed December 5, 2022. https://www.jawapos.com/surabaya/03/12/2022/ada-663-kasus-hiv-di-surabaya-perilaku-homoseksual-4404-persen/.
  • Syaukani, Imam. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonsia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
  • Yasid, Abu. Logika Hukum Dari Mazhab Rasionalisme Hukum Islam Hingga Positivisme Hukum Barat. I. Yogyakarta: Saufa, 2016.
  • Yusuf As-Subki, Ali. Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam. Jakarta: AMZAH, 2010.