Moderasi Dakwah Di Era Digital Dalam Upaya Membangun Peradaban Baru

PENDAHULUAN

Usaha melakukan moderasi dakwah dinilai perlu bertransformasi, menyebarkan moderasi sebaiknya tidak sekadar melalui ruang dakwah konvensional seperti masjid dan komunitas secara offline, tetapi juga perlu masuk ke ruang digital. Dengan demikian, moderasi bisa menjangkau masyarakat yang lebih luas.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Oman Fathurrahman,1ciri kehidupan sosial di era Revolusi Industri 4.0 yang serba digital perlu dipahami para pemuka agama dan pendakwah. Cara masyarakat mencari sumber nilai keagamaan kini telah bergeser seiring dengan kemajuan pesat teknologi. Dunia digital digunakan dari total populasi. Diikuti Amerika Serikat (190 juta atau 57,76 persen dari populasi),Brasil(120 juta atau 57,06 persen dari populasi),dan Indonesia(120 juta atau 44,94 persen dari populasi).

Data tersebut membawa Indonesia menjadi salah satu negara dengan pengguna Facebook terbanyak di dunia mengalahkan Meksiko, Filipina, Vietnam, dan Thailand. Tidak hanya unggul dalam peringkat pengguna Facebook di tingkat global, Indonesia juga unggul dalam penggunaan platform medsos lainnya yakni Instagram. Studi yang dihimpun CupoNation menunjukkan Indonesia sebagai negara ke-4 dengan pengguna Instagram terbesar di dunia mengalahkan Rusia, Turki, Jepang dan Inggris.

Peringkat terbesar pengguna Instagram ditempati Amerika Serikat (110 juta), Brasil (66 juta), dan India (64 juta) serta Indonesia (56 juta). Meski angka penggunaan Instagram di Indonesia masih kalah jauh dibandingkan Facebook, Instagram muncul sebagai platform media sosial baru yang tumbuh pesat dan digemari kaum milenial dan kini telah diakuisisi oleh Facebook.

Masifnya aktivitas masyarakat di Indonesia di jejaring media sosial salah satunya dipengaruhi oleh peningkatan jumlah pengguna internet. Berdasarkan data Statista,jumlah pengguna aktif sosial media di Indonesia meningkat sebanyak 20% di tahun 2019 yakni mencapai 150 juta pengguna. Besarnya angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia menjadi pasar yang baik untuk pengembangan bisnis digital dan sosial media.

ISI

Moderasi Dakwah di Era Digital Dalam Upaya Membangun Peradaban Baru

Penyebutan bahasan dakwah dan peradaban,romantisme memori umat Islam akan menyasar kepada proses dakwah yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasulullah SAW. Tidak sedikit narasi yang terjadi ketika itu adalah benturan kepentingan, baik itu politik, agama, ideologi, dan ekonomi yang berakibat hilangnya nyawa banyak syuhada akibat peperangan.

Sebagai contoh adalah dakwah yang dilakukan oleh nabi Nuh as. yang diabadikan dalam al-Qur’an surah al-A’raaf: 59-62. Dakwah nabi Nuh dalam al- Qur’an diungkap dalam satu surat lengkap, yaitu surat Nuh. Dalam surat tersebut dikisahkan tentang sebagian dari metode dakwah,prioritas dakwah,dan kesabaran beliau berkhidmat untuk kaumnya dalam waktu yang lama.Prioritas dakwah beliau difokuskan untuk membenahi permasalahan akidah, mengajak umatnya bertaqwa kepada Allah, dan setia kepada dirinya. Berbagai metode beliau pakai. Kadang-kadang dengan cara mengingatkan tentang bahaya pembangkangan,kadang- kadang menyampaikan berita kepada orang yang taat. Pada saat tertentu beliau bersikapkeras,saat yang lain bersikap lemah lembut.

Kisah nabi Nuh as. di atas memberikan pesan kepada seluruh umat manusia bahwa dakwah harus mengutamakan aspek atau metode humanis. Dakwah tidak bisa dilakukan secara reaktif dan agresif, sebab dakwah adalah representasi dari akumulasi sejarah peradaban Islam yang kental dengan nuansa kebaikan dan hikmah.

Semangat dari nabi Nuh as tersebut harus dikontekstualisasikan dalam era digital seperti sekarang ini. Dakwah yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi harus memunculkan sebuah gerakan, pemikiran, dan temuan- temuan baru dalam bidang dakwah guna kemaslahatan umat manusia. Dakwah Islam pada era digitalidealnya mampu menerjemahkan isu-isu aktual yang sedang terjadi dengan memasukkan nilai-nilai dan paham Islam yang inklusif, seperti isu pendidikan, gender, ekonomi, dan multikulturalisme. Dakwah Islam tidak boleh “hanya” bersifat tekstual, akan tetapi harus selalu dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban umat.

Senada apa yang disampaikan oleh Ulil Abshar Abdalla bahwa salah satu masalah yang menghantui umat Islam sepanjang sejarahnya adalah: bagaimana bisa hidup sesuai dengan tuntutan teks agama disatu pihak,tetapi,dipihak lain juga menempatkan diri secara kongruen dengan perkembangan-perkembangan kemanusiaan. Bagaimana di satu pihak, bisa terus menyesuaikan diri dengan perubahan, akan tetapi, di pihak lain, tetap menjadi muslim yang baik. Ulil kemudian merumuskan masalah itu dengan bahasa yang sedikit “gaul” yaitu bagaimana menjadi otentik, sekaligus menjadi modern.

Dialektika dakwah Islam dengan perkembangan teknologi digital justru menjadi peluang emas agar bisa bersaing “melawan” hegemoni Barat yang sudah merasuk ke berbagai pemikiran dan ideologi umat manusia.Islam harus menunjukkan “wajah sejuk”, karena selama ini yang tampil di media adalah Islam yang diposisikan sebagai gerakan terorisme, sehingga muncul kredo “Islam is a terorist”.

Secara teologis, Islam tidak menjadi hambatan untuk menjadikan umatnya maju dan berkembang. Bahkan Islam sangat mendorong umatnya untuk menjadi umat yang terbaik dimuka bumi(Q.S.ali-‘Imran:110).29 Atas dasar semangat teologis tersebut, maka perlu adanya bekal pengetahuan dan praktik penguasaan teknologi bagi para da’i. Paradigma da’i yang “hanya” pandai berbicara soal agama namun alpa dengan perkembangan teknologi harus diubah. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama juga perlu memberikan fasilitas yang memadai bagi terselenggarakannya technologi caleducation bagi para da’i,agar dakwah Islam yang disyi’arkan lebih berwarna dan modern.

Arnold Toynbee, yang dikutip oleh Basit, mengatakan: “saya yakin bahwa gaya suatu peradaban adalah perwujudan dari agamanya. Saya amat setuju bahwa agama telah menjadi sumber vitalitas yang telah menyebabkan kehadiran peradaban di dunia dan telah mempertahankan kehadirannya. Bahkan lebih dari itu,agama merupakan daya ikat spiritual yang telah menyatukan masyarakat yang beradab”.

Sebagai sebuah pendekatan, dakwah digital memberikan kekuatan secara struktur maupun kultur. Penguatan secara struktur dimaksudkan kepada dakwah digital yang melembaga. Lembaga tersebut bisa bersifat formal ataupun non- formal, baik itu yang diinisiasi oleh swasta maupun pemerintah. Sehingga, semangat Islam bisa dinikmati secara kolektif sebagai sebuah upaya dakwah struktural.

Moderasi Dakwah Dalam Keluarga

Keluarga merupakan komponen penting dalam sebuah tatanan masyarakat. Kebaikan sebuah masyarakat ditentukan oleh kebaikan keluarga yang menjadi bagian dari masyarakat tersebut.Dalam Islam,proses perbaikan setelah diawali dari perbaikan diri adalah perbaikan keluarga sebelum perbaikan masyarakat secara luas. Sebagaimana sejarah dakwah kenabian Muhammad Saw pun diawali dengan seruan kepadanya untuk terlebih dahulu mendakwahi keluarga dekatnya, sebelum mendakwahi umatnya secara umum dan luas. Dalam Firman Allah SWT disebutkan:Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu(Muhammad) yang terdekat. (Q.S. al-Syu`arâ’ :214)

Ayat yang memerintahkan untuk mendakwahi kaum kerabat terlebih dahulu diturunkan, dikarenakan kaum kerabat merupakan contoh bagi yang lain, dan dikarenakan dalam Islam tidak dikenal sosok perantara antara Tuhan dengan hamba-Nya, dan nabi Muhammad Saw bukanlah jaminan keselamatan bagi keluarga dekatnya.

Betapa pentingnya kedudukan keluarga dalam Islam, al-Qur’an dalam banyak ayatnya secara khusus berbicara seputar hukum keluarga. Sebagaimana al-Qur’an secara umum memiliki karakter moderat, demikian pula nilai-nilaimoderat terlihat sangat jelas dalam kandungan ayat-ayat seputar hukum keluarga.

Begitu juga ketika memandang Perempuan, Islam merupakan agama yang sangat memuliakan kaum wanita. Dalam perspektif al-Qur’an kita dapatkan sejumlah ayat dimana kaum wanita diberikan hak yang sama dengan kaum lelaki, Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an Surah al-Nisâ’: Dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikitpun (Q.S. al-Nisâ’ : 124).39

Masih dalam perspektif al-Qur’an, terdapat satu surat dalam Al-Qur’an yang dinamakan dengan surat al-Nisâ’a yang berarti:wanita. Kenapa surat ini dinamakan dengan surat al-Nisâ’a,dikarenakan jumlah ayat dalam surat ini yang berkaitan dengan kaum wanita sangat mendominasi dan lebih banyak dari pembahasan lainnya. Sehingga surat ini sering dinamakan dengan Sûrah al-Nisâ’al-Kubrâ,untuk membedakannya dengan surat lain yang juga ayat-ayatnya membahas seputar wanita, yakni surat al-Thalâq, yang dinamakan dengan Sûrahal-Nisâ’al-Shughrâ. Pembahasan seputar wanita dalam Al-Qur’an khususnya dalam surat al-Nisâ’,kalaudikaji,semuanya bermuara pada pemuliaan dan penghormatan kaumwanita, sebagai sebuah komponen dalam masyarakat yang tidakmungkin dimarjinalkan. Dan salah satu tema yang dibahas dalam surat al-Nisâ’adalah seputar pembagian harta waris.

Dikisahkan bahwasannya kaum wanita pra Islam sangat termarjinalkan, dalam konteks pembagian harta waris, mereka bukan saja tidak termasuk ke dalam kelompok yang mendapatkan bagian dari harta waris, bahkan yang lebih mencengangkan lagi mereka menjadi bagian dari harta waris yang diwarisi.

Kisah yang melatarbelakangi turunnya ayat seputar pembagian harta waris dalam Al-Qur’an dapat memberikan gambaran yang lebih jelas kepada kita,betapa wanita pra Islam merupakan kelompok masyarakat yang diperlakukan secara diskriminatif, dan Islam datang untuk memberikan rasa keadilan kepada mereka.

Dari Jabir, ia berkata: isteri Sa`ad bin al-Rabi` datang menemui rasulullah saw,ia berkata:wahai rasulullah saw,bersamaku kedua puteri Sa`adbinal-Rabi`,bapak keduanya wafat bersamamu dalam perang uhud sebagai sahid, dan sesungguhnya paman dari keduanya mengambil harta milik keduanya, dan tidak menyisakan sedikitpun untuk keduanya, dan tidaklah keduanya dinikahi kecuali bersama keduanya harta, maka rasulullah saw pun berkata: Allah swt akan menghukumi seputar itu, kemudian turunlah ayat tentang pembagian harta waris).

Perbedaan dalam hal pembagian harta waris dalam Islam, dimana lelaki dalam banyak kesempatan memperoleh bagian lebih dari bagian kaum wanita, sesungguhnya perbedaan ini tidak berkaitan dengan masalah kedudukan, dimana kaum lelaki diposisikan lebih mulia dibandingkan dengan kaum wanita,melainkan dikarenakan dalam Islam kaum lelaki memiliki kewajiban lebih dari sisi materi dibandingkan dengan kaum wanita, sebagai contoh:

Islam mengharuskan para suami untuk memberikan nafkah kepada istri dan segenap anggota keluarganya, dan pada saat yang bersamaan Islam tidak membebani isteri dengan beban materi apapun untuk orang lain selainnya. (Laki- laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya) (Q.S. al-Nisâ’ :34)

Kondisi diatas, secara matematis, sejatinya kaum wanita dalam kondisi ekonomi yang lebih baik dan diuntungkan dari pada kaum lelaki,ketika mereka mengambil setengah dari jatah kaum lelaki.Dikarenakana payang diambil oleh kaum lelaki, terdapat hak yang harus diperuntukkan untuk isterinya,anggota keluarganya, kedua orang tuanya apabila tidak ada sumber mata pencaharian yang dimiliki oleh keduanya, bahkan saudara perempuannya ketika ia tidak berkeluarga. Atas dasar itulah, tidak benar kalau dikatakan bahwasannya terdapat praktek diskriminasi dalam Islam ketika kaum wanita hanya memperoleh setengah dari bagian kaum lelaki,sebaliknya hukum pembagian waris dalam Islam sejatinya lebih menguntungkan kaum wanita dibandingkan dengan kaum lelaki, ketika hukum Islam itu dipahami secara komprehensif dan tidak parsial.

Allah SWT dalam redaksi ayat tersebut “Hazhzhi al-Untsayain” lebih memilih standar ukurannya adalah bagian anak perempuan, dan tidak menjadikan bagian lelaki sebagai standar ukurannya, sehingga redaksinya tidak berbunyi “Hazhzhi al-Dzakari”, dikarenakan dengan redaksi ayat tersebut, Allah SWT hendak menepis anggapan bahwasannya terjadi praktek diskriminasi dalam pembagian harta waris. Sebagaimana dengan redaksi tersebut juga, Allah SWT hendak menginformasikan bahwasannya tidak selalu bagian kaum wanita pada akhirnya lebih sedikit dari bagian kaum lelaki.

Kaum lelaki diharuskan untuk menafkahi isterinya, kaum wanita yang sudah bersuami diharuskan atas suaminya untuk menafkahinya,sehingga bagian setengah yang diperuntukkan bagi wanita yang tidak bersuami adalah cukup baginya. Dan apabila wanita tersebut bersuami, bagian setengah yang diperuntukkan untuknya tetap menjadi miliknya dan menjadi haknya yang tidak bisa diganggu gugat, dan akan ada seorang suami yang akan mencukupi kebutuhannya. Dari sekilas gambaran tersebut, mana yang lebih banyak bagiannya, kaum lelaki atau kaum wanita? Tentunya kaum wanita. Atas dasar itulah pada redaksi ayat diatas, Allah SWT jadikan bagian kaum wanita sebagai standar ukuran.

Fenomena di atas jauh untuk dikatakan bahwasannya al-Qur’an telah melakukan praktek diskriminasi terhadap kaum wanita, bahkan sebaliknya, al- Qur’an telah memanjakan kaum wanita. Kenapa Allah SWT memanjakan kaum wanita? Dikarenakan kaum wanita adalah sosok yang dimuliakan dan layak untuk dijaga kemaslahatannya, disaat wanita tersebut tidak bersuami, ada yang bisa ia gunakan untuk menafkahi dirinya, dan di saat dia bersuami, maka ini merupakan karunia dari Allah SWT.

Lebih daripada itu,dalam Islam masih banyak kewajiban yang bersifat materi lainnya atas kaum lelaki diluar menafkahi isteri, seperti: Kewajiban membayar mahar yang hanya dibebankan kepada kaum lelaki dan kewajiban memberikan kebutuhan pangan bahkan sandang kepada wanita yang telah diceraikannya sekalipun, ketika wanita tersebut dalam posisi sedang menyusui anak kandungnya mencermati hukum pembagian harta waris dalam Islam, yang terkesan kaum  lelaki lebih diuntungkan daripada kaum wanita,apabila dikaitkan dengan hukum- hukum lainnya, kesan seperti ini sepertinya “jauh panggang dari api”, mungkin pribahasa seperti ini yang pantas untuk menjawab kesan tersebut.

PENUTUP

Kesimpulan

Perkembangan teknologi pada saat ini membawa arus kesegala bidang tidak terkecuali dalam perkembangan dakwah yang berdampak pada perubahan masyarakat.Perubahan masyarakat yang fenomenal tersebut,seharusnya diimbangi dengan adanya perubahan cara berdakwah yang dilakukan oleh para pendakwah. Dakwah tidak boleh jalan ditempat dan menggunakan cara-cara yang konvensional saja (ceramah). Dakwah harus dinamis, progresif, dan penuh inovasi. Para pendakwah perlu menciptakan kreasi-kreasi baru yang lebih membumi dan dapat membawa kemaslahatan umat. Dakwah perlu dikemas lebih manusiawi, dialogis, memenuhi kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Moderasi dakwah merupakan keharusan di era digital ini, sebagai upaya dalam menyongsong peradaban baru. Sebagai sebuah pendekatan yang dapat dilakukan diantaranya, Pertama, Mengemas Pesan Dakwah di Era Digital. Kedua, Digitalisasi dakwah melalui website. Ketiga, memaksimalkan video dakwah di era digital. Keempat, Moderasi dakwah dalam bentuk arikel, dan Kelima, Moderasi dakwah dalam keluarga. Penulisan ini jauh dari sempurna oleh karena itu diharapkan ada penelitian lebih lanjut terkait moderasi dakwah di era digital ini yang lebih komprehensif dan menyeluruh.

Daftar Pustaka

Al-Suyuthi ,t.t. Jalaluddin, Lubâb al-Nuqûl Fî Asbâb al-Nuzûl, Cairo: al-Maktabah al-Taufîqiyyah.

Alzamzami , Mutaqin. 2019. Konsep Moderasi Dakwah dalam M. Quraish Shihab Official Website. Jurnal Bimas Islam Vol 12 No. 1.

Baihaqi, Yusuf. 2017. Moderasi Hukum Keluarga Dalam Perspektif Al- Qur’an, Istinbath Vol. 16, No. 2.

Basit, A. 2006. Wacana Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Basit, A. 2008. Dakwah Antar Individu Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:

Grafindo Litera Media.

Basit,A.2013.DakwahCerdasdiEraModern.JurnalKomunikasiIslam. Basit, A. 2013. Filsafat Dakwah. Jakarta: RajaGrafindo.

Budiarti, Indah, dkk. 2018. Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial Indonesia, Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.