Oleh Muhammad Yunus
Pendahuluan
Beberapa tahun belakangan seiring dengan bebasnya mengemukakan pendapat di sosial media, muncul akun-akun dari dalam negeri yang menyuarakan LGBT. Mereka tampil dengan percaya diri di semua sosial media, dan tentulah hal ini didukung oleh si punya platform yang notabene orang barat. Bahkan di whatsapp sendiri ada stiker pasangan pria dengan pria, juga wanita dengan wanita.
Anehnya lagi, akun-akun yang menyuarakan LGBT ini punya pendukung. Jikalau satu dari mereka dibantah, pastilah yang membantah akan dipaparkan dengan berbagai macam syubhat oleh mereka. Alasan mereka adalah HAM, saling cinta, pemikiran terbuka, dan lain sebagainya. Padahal Allah memberikan bukti yang jelas dengan mengangkat kisah kaum Nabi Luth di dalam kitab suci Al-Quran, Dia berfirman:
Sungguh, kalian telah melampiaskan syahwat kalian kepada sesama laki-laki bukan kepada perempuan. Kalian benar-benar kaum yang melampaui batas. (QS. Al- A’raf:81).
Fenomena LGBT ini hanyalah satu dari berbagai jenis penyimpangan seksual. Ada pula penyimpangan seksual lain seperti perkosaan, rancap (masturbasi), waria (transvetisme), pecinta mayat (nekrofilia), dan lain sebagainya. Semuanya ini tentu tidak dibenarkan dalam Islam karena Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, pria untuk wanita dan sebaliknya. Jika penyimpangan seperti yang sudah disebutkan tadi merajalela, tentulah akan menimbulkan kondisi yang sangat kacau dalam tatanan masyarakat.
Padahal sudah dijelaskan secara terperinci dalam Islam, terutama ilmu fikih, bagaimana seharusnya seorang muslim memperlakukan cinta. Bahkan sangat jarang disadari, ada satu cabang ilmu fikih yang membahas cinta di dalamnya; cinta yang natural yang sesuai dengan fitrah manusia. Ilmu itu adalah ilmu waris. Maka tulisan sederhana ini akan membahas mengenai bagaimana ilmu fikih terutama ilmu waris menghindarkan masyarakat dari penyimpangan seksual yang dimurkai Allah ini.
Pensyariatan Ilmu Waris
Ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang warisan sesuai dengan apa yang sudah Allah dan Rasul-Nya ajarkan. Dalam literatur hukum Arab akan ditemukan penggunaaan kata Mawarits, bentuk kata jamak dari Mirats. Namun banyak dalam kitab fikih tidak menggunakan kata mawarits, sedang kata yang digunakan adalah faraid lebih dahulu daripada kata mawaris. Rasullulah ﷺ menggunakan kata faraid dan tidak menggunakan kata mawarits.1
Menurut Dr. Fahd bin Abdul Aziz Ad-Daud di dalam kitabnya Taysir ‘Ilmil Faraidh, ilmu waris atau faraid adalah ilmu yang di dalamnya diketahui siapa yang mewarisi, siapa yang tidak mewarisi, dan kadar dari setiap warisan. Ilmu ini dipelajari berdasarkan sumber, yaitu Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Allah berfirman mengenai kadar warisan:
1 Maryati Bachtiar, “Hukum Waris Islam Dipandang dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender”, Vol.3, Jurnal Ilmu Hukum, t.t, hlm.10.
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.) Jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Untuk kedua orang tua, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua orang tuanya (saja), ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, ibunya mendapat seperenam. (Warisan tersebut dibagi) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan dilunasi) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa: 11).
Kemudian Rasulullah juga menyebutkan bahwa ilmu ini sama pentingnya dengan ilmu Al-Quran, diriwayatkan dari Abdul ah bin Amr bin ‘Ash radhiyal ahu ‘anhu, Nabi bersabda:
“Ilmu itu ada tiga, dan selainnya adalah keunggulan; Ayat penuh makna, sunnah yang ditegakkan, dan faraid yang adil.” (HR. Abu Daud).
Nabi juga menjelaskan bahwa orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang muslim yang sudah meninggal, pun sebaliknya, sebagaimana sabdanya:
“Muslim tidak mewarisi (harta) orang kafir, dan orang Kafir tidak (mewarisi harta) muslim.” (HR. Bukhari).
Dengan mempelajari ilmu waris, seseorang dapat mengambil hikmah yang begitu banyak. Salah satunya adalah bahwa ajaran Islam merupakan suatu yang sudah sempurna. Tak akan ada yang bisa mendatangkan yang lebih baik darinya. Allah berfirman:
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat- Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah: 3).
Ayat ini juga mengandung makna bahwa ajaran yang Allah ridai hanyalah ajaran Islam dan ajaran Islam tak mungkin dapat dirubah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaq ‘alaih).
Ilmu waris pun demikian. Contohnya jika ada seorang yang meninggal, dia punya bapak dan ibu, seorang saudari, juga seorang istri. Maka sebagaimana yang sudah ditetapkan; Bapak mendapatkan 1/6 dari harta warisan, ibu mendapatkan 1/3 dari harta warisan, istri mendapatkan ¼ dari harta warisan, dan saudarinya adalah sisanya. Jika orang yang meninggal memiliki kekayaan senilai 120 juta rupiah -setelah
dikurangi dari pengurusan jenazah, hutangnya, dan wasiatnya, maka pembagiannya adalah:
Bapak:1/6 x 12 x Rp. 120.000.000 = 20.000.000 Ibu : 1/3 x 12 x Rp. 120.000.000 = 40.000.000 Istri : 1/4 x 12 x Rp. 120.000.000 = 30.000.000
Total untuk bapak, ibu, dan istri adalah 90.000.000
Dan bagian warisan untuk saudarinya adalah sisa dari bagian warisan bapak, ibu, dan istri, yaitu 30.000.000.2
Tidak diperbolehkan bagi siapapun mengubah ketentuan warisan ini. Misalkan untuk sang istri adalah setengah, atau menambah bagian warisan untuk sang paman. Karena hal ini sudah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana dalam Al-Quran yang mulia, merubahnya adalah sesuatu yang haram. Begitu pula menambah atau menguranginya.
Pengharaman LGBT dalam Syariat Islam
Hubungan homoseksual seperti Lesbian dan Gay sudah pernah ada dalam sejarah umat terdahulu, yaitu kaum Sodom, kaumnya Nabi Luth ‘alaihissalam. Nabi Luth mendakwahi mereka agar mereka beriman kepada Allah dan meninggalkan perbuatan homoseksual tersebut. Tapi mereka menolak dan bahkan mengancam Nabi Luth diusir dari negeri itu. Sampai Allah akhirnya timpakan azab bagi mereka dan menyelamatkan Nabi Luth serta orang-orang yang beriman bersamanya.
2 Angka 12 saat pembagian harta warisan bapak, ibu, dan istri adalah KPK (Kelipatan Persekutuan Terkecil) dari angka 3, 4, dan 6.
Allah berfirman dalam Surah Hud ayat 82-83:
“Maka ketika datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi,–Yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tidaklah jauh dari orang-orang yang zalim.”
Perlu dipahami, jika suatu larangan itu mengakibatkan hukuman di dunia ataupun adzab di akhirat, maka itu menunjukkan bahwa yang dilarang tersebut adalah dosa besar. Sementara dosa besar itu akan mencelakakan cepat atau lambat, di dunia dan pasti di akhirat jika mati dalam keadaan belum bertaubat.3
Adapun mereka yang transgender, atau yang merasa identitas gendernya sudah berbeda dari yang ada pada dirinya sejak dilahirkan, sehingga yang awalnya dia laki- laki merubah penampilannya menjadi perempuan, maka ini pun ditentang oleh syariat. Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Rasulul ah shal al ahu ‘alaihi wa sal am melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari).
Kaitan Ilmu Waris dengan Pengharaman LGBT
Dalam penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa LGBT hukumnya haram. Seorang muslim hendaklah berpikir secara matang. Melalui ilmu waris saja Allah
3 https://www.hisbah.net/lgbt-adalah-dosa-besar/. Diakses tanggal 8 Desember 2022.
sudah menentukan siapa yang boleh dinikahi oleh pria dan siapa yang boleh dinikahi oleh perempuan. Melalui ilmu waris Allah sudah menampakkan kesetaraan gender. Tidak ada ceritanya kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada kedudukan perempuan. Allah tidak pernah menyebut yang demikian, begitu pula Rasulullah ﷺ.
Ditinjau dari segi jumlah bagian saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan. Karena secara umum pria membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan dengan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria dalam ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya.4
Allah juga tidak menyebutkan ada harta warisan jika sang anak memiliki 2 bapak atau 2 ibu. Lantas bagaimana seorang muslim bisa mendukung LGBT, yang di dalamnya laki-laki menikah dengan laki-laki yang tidak bisa hamil, sehingga tidak memiliki anak? Bagaimana hukum warisannya jika yang demikian dihalalkan? Kalaupun dibolehkan hal demikian, maka tentu aturan ilmu waris harus diubah, sementara aturan ilmu waris sudah ada di dalam Al-Quran, dan Al-Quran tidak mungkin dapat diubah. Tentu jika mereka berpikir lebih jauh, akan nampak jelas bahwa fitrah manusia adalah mencintai dan menikahi lawan jenis. Penciptaan Adam dan Hawa contohnya. Mungkin sudah banyak yang menjadikan logika ini sebagai perempuan pasangannya ialah laki-laki, atau sebaliknya. Tapi dari sini juga dapat diambil hikmah bahwa perkembangbiakan manusia ialah dengan bersatunya laki-laki dengan
4 Maryati Bachtiar, op.cit. hlm. 38.
perempuan, adanya manusia di zaman Nabi Luth maupun zaman sekarang adalah karena Allah menciptakan Nabi Adam berpasangan dengan Hawa السِلم عليهما.
Jikalau muncul pemikiran bahwa “cinta tidak memandang gender”, maka jangan lupakan bahwa istilah “cinta itu buta” sudah ada sejak dahulu kala. Artinya seseorang merasa sangat mencintai pasangan sampai rela melakukan apa saja demi dirinya, tanpa memedulikan diri sendiri.5 Pepatah lama ini sudah menjelaskan sisi negatif bagi yang mencintai pasangan lawan jenisnya secara berlebihan. Maka mereka yang menyebarkan slogan “cinta tidak memandang gender” adalah mereka yang juga buta terhadap cinta. Bukan karena cinta mereka memaksa mereka melakukan apa saja demi pasangan, tetapi membuat mereka buta dalam memilih pasangan itu sendiri.
Cinta yang dalam Islam hukumnya mubah ini bisa menjadi haram jika disalahgunakan. Maka termasuk penyalahgunaan cinta adalah dengan mencintai sesama jenis. Sebagaimana yang Allah sebutkan pada kaum Nabi Luth bahwa mereka benar-benar kaum yang melampaui batas.
Penutup
Pada pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan yang Allah turunkan selalu berkaitan. Tidak ada yang Dia perintahkan melainkan sebuah kebaikan dan tidak ada yang Dia larang kecuali sebuah keburukan. Jika seorang mendalami ilmu fikih yang termasuk di dalamnya ilmu waris, maka nampaklah di sana fitrah manusia sebagai makhluk heteroseksual. Jika ada yang melanggar, maka wajib baginya kembali ke jalan yang lurus, yang diridhoi oleh Allah subhaanahu wa ta’ala.
5 https://hellosehat.com/mental/hubungan-harmonis/cinta-buta-pada-pasangan-bucin/. Diakses tanggal 8 Desember 2022.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzar Al-Ghifari dan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Bertakwalah kepada Allah di manapun kalian berada dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik dan bergaullah dengan manusia dengan pergaulan yang baik.”(HR. Tirmidzi).
Daftar Pustaka
Al-Quran Al Karim.
Bachtiar, Maryati. (t.t). Hukum Waris Islam Dipandang dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender. Jurnal Ilmu Hukum, 3(1). https://media.neliti.com/media/publications/9128-ID-hukum-waris-islam-dipandang-
dari-perspektif- hukum-berkeadilan-gender.pdf. Diakses tanggal 28 November 2022.
Bin Abdul Aziz Ad-Daud, Fahd. (2019). Taysir ‘Ilmil Faraidh. Riyadh: Al-Jamiyyah Al–Fiqhiyyah As-Su’udiyyah.
Bin Al-Hajjaj. Muslim. (t.t). Shahih Muslim. Bin Hanbal. Ahmad. (t.t). Musnad Ahmad.
Bin Isa At-Tirmidzi, Muhammad. (t.t). Sunan At-Tirmidzi.
Bin Ismail Al-Bukhari, Muhammad. (2020). Shahih Al-Bukhari. Kairo: Ibda’. https://binbaz.org.sa. Diakses tanggal 7 Desember 2022.
https://hellosehat.com/mental/hubungan-harmonis/cinta-buta-pada-pasangan-bucin/. Diakses tanggal 8 Desember 2022.https://www.hisbah.net/lgbt-adalah-dosa-besar/. Diakses tanggal 8 Desember 2022.