Peran Keluarga Dalam Menanggulangi Penyimpangan Seksual

Oleh: Hani Aufaa Khairunnisa

Pendahuluan

Unit terkecil dalam masyarakat adalah keluarga. Keluarga menjadi lingkungan yang paling utama untuk menentukan masa depan anak. Masa depan anak tergantung dari pendidikan di keluarga. Jika pendidikan di keluarga tidak berperan dalam mengawasi tumbuh kembang anak maka akan salah jalan dalam perjalanan hidupnya. Dalam keluarga yang paling penting di praktekkan berupa kasih sayang. Di samping itu orang tua dapat memberikan pemenuhan hak-hak terhadap anak dengan ikhlas tanpa pamrih. Pendidikan dalam keluarga juga berfokus pada pendidikan agama. Pendidikan agama adalah suatu upaya atau aktivitas untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala baik berupa perkataan maupun pebuatan sesuai dengan ajaran agama dengan menjalankan segala perintahnya dan mejauhi larangannya.

Arti seks dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah jenis kelamin, maksudnya disini adalah jenis kelamin yang membedakan antara laki-laki dan perempuan secara biologis.

Kurangnya pengetahuan orang tua yang menjadikan pendidikan seks belum diajarkan pada anak, bahkan sebagian besar remaja tidak mendapatkan pengajaran tentang pendidikan seks dari keluarga terutama orang tua. Mereka mendapatkan informasi yang tidak tepat sehingga menjerumuskannya untuk melakukan apa yang mereka temukan dari informasi yang tidak bertanggung jawab. Para ahli dalam bidang kejahatan seksual pada anak melihat ada dua faktor pemicu aktivitas seksual pada anak yang belum dewasa yaitu pengalaman dan melihat. Dalam hal ini anak-anak sering melihat adegan seks baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga membangkitkan birahinya dan menimbulkan kecanduan.

Bentuk penyimpangan seksual yaitu aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk bisa mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya. Penyebab terjadinya kelainan ini psikologis dan kejiwaannya, seperti pengalaman sewaktu kecil, penggunaan gadget tanpa pengawasan orang tua, lingkungan pergaulan, dan faktor genetik.

Masalah penyimpangan seksual seperti homoseksual dan lesbian sedang banyak dibicarakan dan menjadi kontrovensi bagi masyarakat di Indonesia. Permasalahan yang berupa seks sesama jenis ini telah mencuri perhatian masyarakat lebih dari biasanya. Berkenaan dengan masalah ini, maka dalam artikel ini akan membahas tentang pengertian homoseksual dan lesbian, hukum menurut pandangan fiqh islam dan peran keluarga dalam menanggulanginya.

Pembahasan

Pengertian Homoseksual dan Lesbian

Perilaku penyimpangan seksual merupakan tingkah laku seksual yang tidak dapat diterima masyarakat karena tidak sesuai dengan norma agama. Penyimpangan seksual ini sangat merugikan orang lain dan orang banyak. Berikut merupakan bentuk penyimpanga seksual:

Homoseksual

Homoseksual dalam agama islam disebut dengan “al-liwath” yang berarti orang yang melakukan perbuatan seperti kaum Nabi Luth, yang pelakunya disebut “al-luthiyyu” yang berarti pria yang melakukan hubungan seksual dengan pria.

Bagi orang yang melakukan homoseksual, cara pemuasan seksual sedikit berbeda, dimana seseorang pria homoseksual dapat mencari obyek mangsanya diantara pria-pria yang tidak bertendensi homoseksual, bahkan ada anak-anak dibawah umur dengan rayuan, janji dan imbalan material. Sebagian dari mereka ada yang memutuskan untuk menikah dan dikaruniai anak kemudian keinginannya untuk memuaskan diri secara homoseksual hilang dan sembuh. Akan tetapi ada di antara mereka masih melakukan hubungan homoseksual, karena pada dasarnya mereka termasuk biseksual.

Lesbian

Lesbian dalam agama islam disebut dengan al-shihaq” yang berarti perempuan yang melakukan hubungan seksual dengan sesama perempuan. Istilah tersebut dapat merujuk pada perempuam yang suka dengan perempuan adapun dengan fisik, seksual, emosional ataupun dengan spiritual.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa homoseksual ialah hubungan seksual antara laki-laki dengan laki-laki, sedangkan lesbian hubungan seks antara perempuan dengan perempuan. Homoseksual sesama laki-laki disebut liwath yang sama akar katanya dengan kata luth, kerena perbuatan tersebut pernah dilakukan oleh kaum nabi luth yang durhaka terhadap seruannya. Kaum ini berdomisili di negeri Sodom (di sebelah timur Laut Mati yang sekarang menjadi Yordania).

Hukum Penyimpangan Seksual Menurut Fiqih Islam

Sesorang yang melakukan homoseks dalam bentuk liwath termasuk dalam dosa besar, karena termasuk perbuatan keji dan yang merusak kepribadian, moral dan agama. Perbuatan homoseksual dan akibatnya sudah disebutkan dalam Al-Qur’an di antara kisah-kisah umat nabi-nabi yang durhaka

dan dijatuhi hukuman oleh Allah yaitu kisah umat nabi Luth. Homoseks atau liwath dalam aislam diungkap dalam Al-Qur’an salah satunya adalah ayat berikut:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَومِهِ أَتأْتُونَ الفَحشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِن أَحَدٍ مِنَ العَالمينَ إِنَّكُم لَتَأتُونَ الرِّجَالَ شَهوَةً مِن دُونِ النِّسَاء. بَل أَنتُم قَومٌ مُسرِفُونَ

“Dan (kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: “mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun (di dunia ini). Sungguh kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar kaum yang melampaui batas.”

Pada ayat tersebut telah diterangkan bahwa perbuatan kaum Nabi Luth yang hanya melakukan hubungan seksual dan melepaskan syahwat kepada sesama laki-laki dan tidak berminat kepada perempuan sebagaimana yang ditawarkan oleh Nabi Luth, tetapi mereka tetap melakukan hubungan homoseksual, akhirnya Allah memberi hukuman kepada mereka dan memutarbalikan negeri mereka, termasuk istri Nabi Luth kaum lesbian, tertanam bersamaan dengan terbaliknya negeri.

Ulama fiqih sepakat mengharamkan homoseks selain berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis, juga berdasarkan kaidah fiqhiyyah yang mengatakan:

الأصل في الابضاع التحريم حتى يدل دليل إباحة

“Hubungan seks pada dasarnya adalah haram sehingga ada dalil (sebab-sebab yang jelas dan yakin tanpa keraguan) yang menghalalkannya yakni adanya akad nikah.”

Begitu juga ulama fiqh sepakat mengharamkan perbuatan lesbian, berdasarkan Hadis Nabi Shalallahu’alaihi wassalam yang diriwayatkan oleh muslim dari Abi Said yang berbunyi,

لا ينظر الرجل إلى عورة الرجل ولا المرأة إلى عورة المرأة ولا يغضى الرجل إلى الرجل في الثوب الواحد ولا تغضى المرأة إلى المرأة في الثوب الاحد

“Janganlah pria melihat aurat pria lain dan janganlah wanita melihat aurat wanita lain dan janganlah bersentuhan pria dengan pria lain di bawah sehelai kain, dan janganlah pula wanita bersentuhan dengan wanita lain di bawah sehelai kain.”

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perbuatan homoseksual dan lesbian hukumnya haram, dalam bentuk pasangan yang sudah menikah maupun tidak. Larangan homoseksual dan lesbian bukan hanya merusak kemuliaan dan martabat kemanusiaan, tetapi resikonya lebih besar pada kesehatan yaitu menimbulkan penyakit kanker, kelmin HIV/AIDS, spilis, dan lain-lain. Demikian pula perkawinan waria yang telah menjalani operasi penggantian kelamin dengan laki-laki, dikategorikan sebagai praktek homoseksual, karena tabiat kelaki-lakiannya tetap bisa diubah oleh dokter, meskipun ia sudah memiliki kelamin perempuan.

Allah juga melarang laki-laki menyerupai wanita dan sebaliknya. Perbuatan itu haram hukumnya. Laki-laki yang mempunyai sifat keperempuan dan sebaliknya, itu bisa terbentuk dari lingkungannya sejak kecil. Jika lingkungan keluarga membiarkan anak laki-laki bergaul dengan anak perempuan terus menerus, baik mengikuti pakaian maupun aktivitas, maka anak laki-laki itu akan mengikuti sifatnya. Begitu sebaliknya. Hendaknya orang tua mengarahkan anak dalam bergaul sesuai dengan jenis kelaminnya.

Peran Keluarga dalam Menanggulanginya

Menanggulangi penyimpangan seksual yaitu dengan memberikan pendidikan seksual sejak dini atau setidaknya pada usia sekolah. Memberikan teori-teori seks yang benar pada anak seperti pelajaran tentang perbedaan jenis kelamin terutama tentang topik biologis bentuk tubuh dan fungsinys, pemahaman tentang sikap yang diambil dalam bergaul dengan lawan jenis dan sesama jenis, pemahaman bentuk penyimpangan seksual, anak mampu membedakan antara penyimpangan, pelecehan dan kekerasan seksual. Menumbuhkan sikap berasni untuk memberitahukan kepada orang tua jika terjadi atau korban penyimpangan, pelecehan atau kekerasan seksual.

Seperti yang di ajarkan pada pendidikan seksual, orang tua berperan penting untuk menanggulangi penyimpangan seksual pada anak sejak dini dengan:

Menanamkan jiwa laki-laki dan perempuan yang benar menurut islam

Menanamkan jiwa feminim pada anak perempuan dan maskulin pada anak laki-laki merupakan salah satu hal penting, agar sejak dini anak tahu jati dirinya masing-masing. Pendidikan ini merupakan hal yang mendasar seperti memilihkan pakaian yang sesuai dengan jenis kelaminnya agar anak tidak bingung atas jati dirinya. Selain itu, hendaknya orang tua bijak dalam memilihkan mainan yang tepat dalam menanamkan jiwa maskulin ataupun feminim pada anak. Pembentukan karakter ini harus diajarkan sejak dini dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga yang relative lebih kecil lingkupnya sehingga dapat mencegah penyimpangan seksual seperti gay, lesbian ataupun transgender.

Mendidik cara berpakaian yang baik

Dalam Islam dikenal dengan istilah aurat yang tidak boleh menampakkannya dihadapan orang lain ataupun non mahram, dan tetap memakai pakaian yang sopan walaupun didepan mahram seperti ayah, ibu, kakak dan saudara yang masih mahram. Hal ini menghindarkan anak dari penyimpangan seksual. Menanamkan pemahaman yang baik mengenai batasan aurat annggota tubuh yang boleh nampak dihadapan orang lain, dapat diterapkan secara perlahan dengan pendidikan di keluarga dan diterapkan sedini mungkin, agar anak tetap terjaga sopan santun dalam berpenampilan dan berperilaku.

Pemisahan tempat tidur

Tempat tidur merupakan tembat privasi seseorang, maka dari itu hendaknya orang tua memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan. Hal ini mengajarkan anak agar ruang pribadi tidak mudah diakses orang lain sehingga terhindar dari segala kemungkinan yang terburuk terutama penyimpangan seksual. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

Perintahkan anak-anak kalian shalat pada usia 7 tahun, pukullah jika meninggalkannya pada usia 10 tahun dan pisahkan di antara merekan tempat tidurnya.

Dalam hadist tersebut, hendaknya orang tua memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan ketika berusia 10 tahun. Upaya pemisahan tempat tidur anak diajarkan juga mengenai pembedaan dan pemisahan bagi yang berbeda jenis kelamin.

Mendidik cara menjaga pandangan.

Mendidik anak sejak dini di lingkungan keluarga untuk menjaga pandangan dari hal yang tidak seharusnya di lihat akan menjadikan anak terbiasa untuk menjaga pandangannya ketika di luar rumah. Melalui orang tua atau orang terdekatnya akan membantu terbentuknya karakter anak yang tau akan apa saja yang boleh ataupun tidak boleh di lihat. Hal ini khususnya dalam menonton televisi dan penggunaan gadget, orang tua seharusnya dapat mendampingi anak untuk memandu atau mengarahkan apa saja yang boleh anak lihat dan dengar.

Mengenalkan mahrom-mahromnya

Adanya istilah mahrom dalam Islam, sehingga para orang tua dapat memberikan penjelasan bahwa ada golongan keluarga dekat yang memiliki hubungan darah sehingga berbeda dalam bergaul dengan orang yang bukan mahrom. Islam melarang berdua-duaan laki-laki dan perempuan khususnya bagi non mahrom berlawan jenis. Hal ini mengajarkan anak agar berhati-hati dari segala bentuk bisikan syaithan yang dapat menggoda manusia bermaksiat. Dalam konteks fiqh islam susunan keluarga disebabkan oleh keturunan, persusuan, ikatan perkawinan. Susunan ini mendapat perhatian lebih karena terkait dengan halal atau haramnya pertemuan antara laki-laki dan perempuan, batas aurat, mahrom, pembagian waris.

Mengajarkan akan nilai pernikahan

Nilai pernikahan dapat diajarkan pada anak di lingkungan keluarga yaitu dengan menerangkan tentang sebab adanya keturunan yang terlahir dari sebuah pernikahan yang sah sehingga adanya ikatan suami istri. Mengajarkan anak agar berhati-hati dalam menghadapi pergaulan bebas.

Dari beberapa contoh cara pendidikan yang telah disebutkan, orang tua harus bisa menyesuaikan kemampuan dan pemahaman anak, segungga penyampaian dan bahasa perlu dipertimbangkan. Pengajaran tentang norma-norma dalam islam merupakan kewajiban bagi setiap muslim sehingga anak dapat mencegah penyimpangan seksual.

Penutup

Pada era modern ini penyimpangan seksual ini semakin marak. Bahkan beberapa negara, telah membenarkan secara hukum hubungan seks pria dengan pria, wanita dengan wanita dan menganggap sesuatu yang normal serta bagian dari Hak Asasi Manusia. Namun Allah tidak membenarkannya baik secara fitrah maupun sunnatullah. Karena manusia secara fitrah diciptakan berpasang-pasangan bukan makhluk berpasang-pasangan dengan berjenis kelamin sama.

Perbuatan homoseksual dan lesbian dianggap lebih keji dari perbuatan binatang, karena binatang tidak melakukan penyimpangan seks dengan sesama jenis.

Manusia yang diciptakan sebagai makhluk termulia dimuka bumi ini menghinakan diri dengan perbuatannya sendiri sehingga Allah menghinakan mereka. Allah berfirman dalam Al-Qur’an yang berbunyi,

لَقَد خَلَقنَا الإِنسَانَ فِي اَحسَنِ تَقوِيْمٍ. ثُم رَدَدنهُ اَسْفَلَ سَافِلِيْنَ.

“Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.”

Pada dasarnya pendidikan pada setiap anak yang lahir di muka bumi ini dalam keadaan fitrah maka orang tua dan keadaan lingkungannyalah yang akan mengarahkan anak untuk terbentuk menjadi baik maupun buruk. Pendidikan agama dan pendidikan seks merupakan bentuk antisipasi orang tua untuk anaknya. Orang tua merupakan peranan penting dalam hal ini agar anak terhindar dari penyimpangan seksual.

Daftar Pustaka

  • Al-Qur’an al-Karim
  • Ahmad Warson Munawwir. Kamus Al-Munawwir. Cet. XIV. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
  • Faizah Ali. Penyimpangan Seksual dalam Islam. Skripsi. Jakarta: UIN Jakarta, 2020.
  • Huzaemah Tahido Yanggo. “Penyimpangan Seksual (LGBT) dalam Pandangan Hukum Islam.” Jurnal Misykat. Vol. 03, No. 02, 2018.
  • Imam Muslim. Shahih Muslim. Cet. I. Cairo: Dar al Hadits, 1997.
  • Jalaluddin al Suyutihy. al Jami’ al Shoghir. Cet. II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ihmiyah, 1998.
  • Majma’ al-Lughoh al-‘Arabiyah. al-Mu’jam al-Wasith. Cet. II. Mesir: Dar al-Ma’rif, 1973.
  • Siska Lis Sulistiani. “Konsep Pendidikan Anak dalam Islam untuk Mencegah Kejahatan dan Penyimpangan Seksual.” Jurnal Ta’dib. Vol. 5, No. 1, 2016.
  • Tim Penyusun Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008.