Program Ceria (Cerita Seputar Sirah) Sebagai Langkah Proteksi Keluarga Dalam Menangkal Paham Radikalisme

PENDAHULUAN

Islam adalah agama rahmat, agama kasih sayang. Banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah memerintahkan kita untuk berkasih sayang satu sama lain. Agama ini melarang umatnya mengganggu, merusak, dan merugikan pihak lain, juga melarang kita bermusuhan hingga memutuskan tali silaturahim. Bahkan, agama ini memerintahkan kita melakukan hal-hal sederhana seperti menyebarkan salam dan memberi hadiah agar kita saling berkasih sayang.

Salah satu keindahan agama ini tercermin dari indahnya budi pekerti yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau diutus menjadi suri tauladan terbaik bagi manusia. Beliau berinteraksi dengan begitu indah baik kepada kawan maupun lawan. Ini menunjukkan betapa indah agama Islam mengatur tentang adab dan perilaku sehari-hari. Andirja (2016) mengatakan bahwa akhlak yang mulia merupakan tolok ukur utama dalam menilai tingkat keimanan seseorang. 

Namun, keindahan agama ini dirusak oleh sekelompok orang yang mengaku berjihad atas nama Islam. Pengeboman dan berbagai aksi radikalisme muncul di berbagai wilayah dunia hingga menimbulkan Islamophobia. Di Indonesia sendiri, aksi radikalisme ternyata bukan hal baru. Asrori (2015) mengatakan bahwa dalam catatan sejarah, aksi terorisme semakin menggeliat pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi, yaitu sejak Kartosuwirjo memimpin operasi di bawah bendera Darul Islam pada tahun 1950-an. Asrori (2015) menambahkan bahwa pada tahun 1976 muncul Komando Jihad yang meledakkan rumah ibadah. Merujuk pada Global Terrorism Database (dalam Mubarak, 2015) terdapat 421 tindakan terorisme yang tercatat dari tahun 1970 hingga tahun 2007. Mubarak (2015) menambahkan, sejak Bom Bali I, pada tahun 2002 hingga tahun 2013, tercatat ada 12 kali aksi bom bunuh diri. Tiga tahun lalu, tepatnya pada bulan Mei 2018, publik dikejutkan dengan tindakan satu keluarga muslim yang melakukan bom bunuh diri di tempat ibadah nonmuslim.

Hal ini tentu menjadi perhatian kita bersama karena aksi radikalisme yang tidak diajarkan Islam telah mencoret nama baik Islam sendiri. Berbagai pihak telah berupaya menangkal penyebaran paham radikalisme ini. Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah melakukan penguatan criminal justice response pada isu penanggulangan terorisme melalui pengesahan dan penetapan beberapa peraturan seperti Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2018, PP Nomor 77 Tahun 2019, PP Nomor 35 Tahun 2020, serta Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme. Berbagai lembaga pendidikan juga terus mengedukasi peserta didik untuk tidak terhasut dengan paham ini, salah satunya adalah STDI Imam Syafi’i Jember yang melaksanakan seminar internasional pada tahun 2019 dengan tema perlawanan terhadap radikalisme (Wazis, 2019). Selain itu, kajian islam tentang penangkalan radikalisme juga telah menjamur di masyarakat.

Namun, berbagai upaya tersebut tidaklah cukup tanpa adanya basis perlindungan dari keluarga muslim itu sendiri. Keluarga sebagai tempat pendidikan pertama bagi individu harus berperan aktif dalam pencegahan tersebarnya segala bentuk pemahaman yang tidak diajarkan Islam, radikalisme salah satunya. Karya tulis ini bertujuan memaparkan peran keluarga dalam mencegah radikalisme melalui cerita seputar sirah yang dikaji/dibahas bersama anak. Kisah keteladanan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat memberi gambaran kepada individu sejak kecil, betapa lembutnya Islam dalam bermuamalah kepada siapapun, juga dapat memberi penjelasan praktik beragama yang benar dalam Islam. Apakah langkah ini bisa menjadi alternatif pencegahan merebaknya paham radikalisme di Indonesia?

ISI

Memahami Radikalisme dan Hubungannya dengan Islam

Wazis (2019) mengatakan kata “radikalisme” berasal dari Bahasa Latin, yaitu radic yang artinya “akar”. Makna “radikalisme” sendiri adalah aliran yang mengakar atau mendasar yang pengejawantahannya juga mengakar atau mendasar. Kurang lebih kata “radikalisme” bisa disepadankan dengan kata “fundamentalisme”. Menurut Syuderajat (dalam Wazis, 2019) kata “radikalisme” dapat menjadi label bagi aksi-aksi yang tidak hanya berlandaskan religi tertentu tetapi juga pada wilayah ideologi politik ekonomi.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) (dalam Wazis, 2019) menyebutkan bahwa radikalisme merupakan suatu sikap yang menginginkan perubahan total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Radikalisme adalah embrio paham yang melahirkan terorisme. BNPT (dalam Wazis, 2019) menambahkan, setidaknya ada empat ciri yang dapat dikenali dari sikap dan paham radikal, yaitu:

  1. Intoleran (tidak mau menghargai pendapat & keyakinan orang lain);
  2. Fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah);
  3. Eksklusif (membedakan diri dari umat Islam pada umumnya);
  4. Revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).

Berdasarkan penjelasan di atas, radikalisme jelas bukan ajaran Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

 مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” (QS. Al Maidah: 32).

Juga dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,

إِنَّ اللَّهَ يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ النَّاسَ فِي الدُّنْيَا

“Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia.” (HR. Muslim no. 2613).

Bahkan, bukan hanya melarang umatnya menyakiti, menyiksa, atau membunuh orang lain, Islam juga memerintahkan umatnya untuk menyayangi satu sama lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ

“Siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak disayangi.” (HR. Bukhari no. 5997 dan Muslim no. 2318).

Agama yang penuh kelembutan ini tidak mungkin mengajarkan radikalisme. Penyimpangan yang dilakukan sekelompok oknum umat Islam adalah bukti ketidakpahaman oknum tersebut dalam menafsirkan dalil terkait jihad. Lebih jauh dari itu, hal itu juga karena tidak meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui kumpulan sirah yang telah tersebar di seluruh penjuru bumi. At-Thuwairaqi (2004) mengatakan bahwa kelemahlembutan adalah salah satu prinsip yang digunakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bergaul, baik dengan lawan maupun kawan. Jika sosok teladan umat Islam saja tidak melakukan aksi kekerasan, mana mungkin kekerasan itu sendiri dikaitkan dengan agama ini?

Menangkal Radikalisme melalui Sirah Nabi

Sebagian ulama (dalam Al-Imran, 2020) mengatakan, “Kisah adalah tentara Allah yang meneguhkan hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki.” Artinya, seseorang belajar keteladanan dalam kehidupan sehari-hari melalui kisah. Andirja (2016) mengatakan tidak sedikit orang yang akhirnya kembali bersemangat, bahkan memiliki dorongan yang kuat hingga mencapai derajat yang tinggi disebabkan sejarah yang dibacanya atau cerita yang didengarnya. 

Mengajarkan ketauhidan, nilai-nilai Islam dan keteladanan melalui sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah langkah yang sangat efektif karena seseorang belajar tentang bagaimana beriman dan beradab yang benar juga belajar hakikat agama Islam yang jauh dari pemahaman-pemahaman menyimpang. Ilahi (2010) mengatakan bahwa perilaku Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bukti nyata dan teladan terbaik atas semua yang beliau ajarkan kepada para Sahabat. 

Empat ciri sikap dan paham radikal yang telah disebutkan di atas dapat dengan mudah disangkal dengan beberapa kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana berikut:

  1. Ciri intoleran (tidak mau menghargai pendapat & keyakinan orang lain) dapat disangkal dengan peristiwa Perang Ahzab. Saat itu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menggelar musyawarah dengan para sahabat untuk membahas rencana siasat pertahanan yang akan diambil untuk melindungi kota Madinah. Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu ketika kami di negeri Persia, apabila kami dikepung (musuh), maka kami membuat parit di sekitar kami.” Pendapat Salman Al-Farisi inilah yang disepakati. Jika teladan umat ini adalah sosok yang tidak mau menghargai pendapat orang lain, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan berdiskusi dan menyetujui pendapat yang diajukan sahabat-sahabat beliau.
  2. Ciri fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah) dapat dipatahkan dengan kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Usamah bin Zaid ketika menuju Muzdalifah. Saat itu Usamah bin Zaid mengingatkan Nabi untuk shalat maghrib karena berpikir beliau lupa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak marah atau merasa tersinggung. Beliau mengatakan bahwa shalat maghrib dilakukan setelah tiba di Muzdalifah. 
  3. Ciri eksklusif (membedakan diri dari umat Islam pada umumnya) dapat disangkal dengan bukti bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bermukim di tengah-tengah kaum muslimin. Padahal, ketika itu di Madinah, beliau adalah raja sekaligus pemimpin negara. Seharusnya jika berkaca pada Raja Persia dan Romawi, beliau bisa saja minta dibuatkan istana yang megah tersendiri untuk ditinggali. Namun, hal itu tidak beliau lakukan. Bahkan ketika raja-raja lain tidur di kasur yang empuk, alas tidur beliau hanyalah tikar.
  4. Ciri revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan) dapat dipatahkan dengan peristiwa Fathu Makkah. Ketika beliau telah berkuasa, beliau bisa balas dendam kepada penduduk Makkah yang dulu mengusir beliau. Namun, apa yang beliau katakan? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Hari ini tidak ada cercaan bagi kalian, pergilah karena kalian semua bebas.” Beliau tidak memaksa penduduk Makkah masuk Islam padahal saat itu beliau sudah berkuasa. Beliau juga tidak menyakiti penduduk Makkah yang dulu telah berbuat jahat kepada beliau.

Ada banyak kisah lain yang bertentangan dengan paham radikalisme. Kisah yang disebutkan di atas hanya sedikit dari banyak kisah yang menunjukkan bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan. Kisah-kisah ini harus diajarkan sejak kecil agar pemahaman Islam yang benar tertanam dalam diri seseorang.

CERIA (Cerita Seputar Sirah) Bersama Keluarga

Keteladanan melalui Sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam harus ditanamkan dari dalam keluarga. Sebab keluarga adalah tempat belajar pertama bagi seorang anak. Anak ibarat spons yang mudah menyerap segala sesuatu di sekitarnya. Jika tidak dikelilingi dengan sesuatu yang baik, anak akan menyerap hal yang buruk. Al-Atsari dan Ummu Ihsan (2017) mengatakan bahwa jiwa yang lentur siap menerima dan akan terpengaruh segala hal sesuai lingkungan pertamanya.

Jika penanaman ajaran Islam yang murni itu tidak ada dalam keluarga, ketika keluar rumah, seorang individu dengan mudah akan terserang pemahaman-pemahaman menyimpang. Al-Atsari dan Ummu Ihsan (2017) mengatakan bahwa keluarga ibarat benteng, yaitu benteng bagi jiwa-jiwa yang terlahir suci, polos, dan fithri (sesuai fitrah). Keluarga adalah tempat pertama dan utama untuk menanamkan nilai-nilai Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Terlebih, perintah menjaga keluarga ini ada dalam Al-Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At-Tahrim: 6)

Orang tua sebagai pendidik memiliki tanggung jawab menjaga anak dari penyimpangan yang menjerumuskan ke neraka. Al-Atsari dan Ummu Ihsan (2017) mengungkapkan jika rasa tanggung jawab ini pudar dari orang tua sebagai pendidik pertama dan utama, mereka akan melalaikan tugas pengawasannya sehingga secara bertahap anak terjerumus dalam kerusakan. 

Setiap keluarga muslim harus memiliki jadwal belajar bersama. Ini akan menguatkan bonding satu sama lain sehingga akan tercipta suasana rumah yang nyaman. Orang tua menjadi dekat dengan anak. Anak merasa nyaman dan aman berada di sisi orang tua. Al-Atsari dan Ummu Ihsan (2017) mengatakan bahwa di antara keistimewaan rumah islami yang menjadi wadah pendidikan adalah anggota keluarga berkumpul bersamaan dalam waktu yang lama sehingga terjalin kedekatan pribadi antara anak dengan orang tua serta saudara-saudaranya.

Program CERIA (Cerita Seputar Sirah) adalah program yang membahas sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama keluarga. Orang tua menjadwalkan pembahasan sirah Nabi secara terstruktur dan sistematis yang waktunya disesuaikan dengan kebutuhan anak. Secara garis besar, program ini terbagi menjadi dua kategori, yaitu:

  1. Usia anak 2 -7 tahun

Orang tua dapat menggunakan buku cerita atau video animasi. Durasi pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan konsentrasi anak. Jika menggunakan video, durasi screen time untuk melihat video juga perlu diperhatikan agar tidak melebihi batas anjuran kesehatan. Di akhir pembelajaran, orang tua membantu anak membuat kesimpulan terkait hikmah dari cerita yang dibahas.

  1. Usia anak di atas tujuh tahun

Orang tua dapat menggunakan buku sirah atau rekaman kajian. Durasi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan anak. Di akhir pembelajaran, anak bisa diminta menyimpulkan hikmah yang didapat dari cerita yang dibahas.

Melalui program ini, orang tua turut belajar kembali terkait akhlak seorang muslim sejati. Dengan demikian, orang tua diharapkan mampu menerapkan adab keseharian muslim untuk menjadi teladan di hadapan anak-anak secara langsung. Selain untuk menangkal paham radikalisme, program ini juga dapat menangkal pemahaman dan keyakinan lain yang menyimpang. Program ini dirancang untuk menjadi benteng pertahanan keluarga untuk menjaga generasinya dari hal-hal berbahaya yang merajalela.

PENUTUP

Paham radikalisme harus diantisipasi sedini mungkin melalui peran aktif keluarga. Keluarga dapat menggunakan program CERIA yang membahas kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melindungi keluarga dari paham yang menyesatkan. Dalam melaksanakan program ini, orang tua diharapkan menggunakan referensi sirah yang terpercaya. Orang tua juga diharapkan konsisten dan disiplin menjalankan program ini agar efeknya terasa. Tak lupa orang tua diharapkan mampu bersikap sesuai kepribadian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi contoh nyata di hadapan anak.

DAFTAR PUSTAKA:

Al-Qur’an dan Terjemahan. Kementerian Agama Republik Indonesia.

Al-Atsari, Abu Ihsan dan Ummu Ihsan. (2017). Mencetak Generasi Rabbani. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.

Al-Imran, Ali bin Muhammad. (2020). Gila Baca Ala Ulama. Sukoharjo: Pustaka Arafah.

Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. (2014). Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari Kelahiran hingga Detik-detik Terakhir  (Hanif Yahya, Terjemahan). Jakarta: Darul Haq.

Andirja, Firanda. (2013). Dari Madinah ke Radio Rodja. Jakarta: Naasirus Sunnah.

Andirja, Firanda. (2016). Muslim yang Paling Sempurna Imannya, Yang Paling Baik Akhlaknya. Jakarta: Bimbingan Islam.

Asrori, A. (2015). Radikalisme di Indonesia: Antara Historisitas dan Antropisitas, Jurnal KALAM, 253 – 268.

Ath-Thuwairaqi, Nawwal. (2004). Sekolah Unggulan Berbasis Sirah Nabawiyah (Asmuni, Terjemahan). Jakarta: Darul Falah.

Ilahi, Fadhl. (2010). Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Mendidik Generasi Idaman (Ahmad Yunus, Terjemahan). Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Makna Islamofobia. Diakses pada 5 Desember 2021, dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/islamofobia 

Mubarak, M. (2015). Dari NII ke ISIS. Episteme: Jurnal  Pengembangan Ilmu Keislaman, 10 (1), 77 – 98.

Purnama, Y. (2021). Potret Kesederhanaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Diakses pada 5 Desember 2021, dari https://muslim.or.id/43655-potret-kesederhanaan-rasulullah-shallallahualaihi-wasallam.html 

Tuasikal, M. (2015). Islam Benci Radikalisme. Diakses pada 3 Desember 2021, dari https://rumaysho.com/10708-islam-benci-radikalisme.html Wazis, K. (2019). Perlawanan Ahli Hadits Terhadap Gerakan Radikalisme dalam Konstruksi Media Online. Jurnal Al-Hikmah: Ilmu Dakwah dan Pengembangan Masyarakat, 17(2), 19 – 36.