Sisi Lain Penyimpangan Seksual dalam Persepektif Hukum Fikih

Oleh: Puput Mahmudah

Masyarakat dunia akhir-akhir ini dihadapkan pada persoalan yang cukup pelik yang dapat membahayakan peradaban manusia. Penyimpangan seksual, pasti sudah tidak asing lagi dengan hal tersebut, yang dulunya dianggap tabu tetapi sekarang-sekarang ini kerap menjadi topik hangat di media manapun dan dibahas oleh seluruh kalangan. Kita tidak bisa serta merta menutup mata mengenai isu penyimpangan seksual ini. Apalagi kita hidup di era 4.0 yang semua orang bisa mengakses dunia luar dengan internet secara bebas dan mudah. Masyarakat umum mengenal penyimpangan seksual dengan istilah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Sebagai umat Islam tentu kita mengetahui hukum dari penyimpangan seksual yang marak akhir-akhir ini.

Sekarang ini banyak beredar video, foto, atau berita yang memperlihatkan para pelaku penyimpangan seksual, khususnya di Indonesia. Para pelaku tanpa sungkan memperlihatkan hal tersebut terhadap khalayak ramai, sehingga memunculkan banyak pro dan kontra dalam masyarakat. Islam sendiri memandang perilaku penyimpangan seksual merupakan salah satu dosa besar. Karena penyimpangan seksual menyalahi kodrat yang telah ditetapkan oleh sang pencipta. Penyimpangan seksual bukanlah fenomena yang baru terjadi, dahulu pada masa Nabi Luth para kaumnya telah melakukan penyimpangan seksual. Laki-laki berhubungan dengan laki-laki dan perempuan berhubungan dengan perempuan. Allah mengazab para kaumnya Nabi Luth dengan membalik kota tempat mereka tinggal, serta menghujani para kaum Nabi Luth dengan batu yang membara dari neraka. Hal tersebut menunjukkan bahwa Allah sangan melaknat para orang-orang yang melakukan penyimpangan seksual.

Kegiatan penyimpangan seksual juga bisa menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit yang mengancam para pelaku. Pada praktik gay dan lesbi yang keduanya merupakan berhubungan dengan sesama jenis, menimbulkan dampak terancamnya peradaban manusa. Dampaknya lebih berbahaya dari pada zina, jika zina hanya merusak nasab dan keharmonisan rumah tangga “saja”. Selain itu akan muncul juga penyakit menular seksual yang bisa sampai mematikan, seperti HIV/AIDS yang sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Tak sampai pada pelaku saja, dampak yang ditimbulkan juga bisa berdampak pada orang-orang lain disekitarnya seperti pada suami atau istri. Apabila dalam melakukan hubungan badan dan salah satunya mengalami penyakit seksual, maka hal tersebut akan menular pada pasanganannya dan bisa berdampak pula bagi sang anak.

Faktor dari penyebab terjadinya penyimpangan seksual bisa dilihat dari banyak hal. Mulai dari salahnya pergaulan, penyimpangan fitrah, butanya mata dan hati, lemahnya akal, serta minimnya taqwa. Kita umat Islam yang mengetahui bahwa hukum penyimpangan seksual adalah dosa besar, sudah sewajarnya untuk menghindari perilaku tersebut. Namun apabila kita mengetahui saudara, teman, atau bahkan kerabat terjerumus dalam praktik penyimpangan seksual, haram hukumnya apabila kita mengejeknya. Karena mengejek seseorang yang terjerumus dalam satu jalan kemaksiatan termasuk syamadah (bergembira atas musibah yang menimpa orang lain). Bagi pelaku praktik penyimpangan seksual harus menyadari bahwa perilakunya tersebut merupakan aib yang wajib untuk disembunyikan. Tak lupa untuk segera bertaubat kepada Allah secara sembunyi-sembunyi. Serta meyakini apabila penyimpangan seksual merupakan akhlak tercela, maka akhlak tercela pasti dapat berubah. Namun jika penyimpangan seksual merupakan penyakit, pasti setiap penyakit akan menemukan obatnya.

Islam memandang penyimpangan seksual bukan sebagai penyakit, melainkan sebuah penyimpangan yang berasal dari hawa nafsunya sendiri. Pada masa Rasulullah tidak pernah terjadi perbuatan penyimpangan seksual, sehingga umat Rasulullah pada saat itu merupakan umat yang paling suci, paling baik, dan paling takwa. Para sahabat mengetahui adanya perbuatan penyimpangan seksual khusunya homoseksual berasal dari Rasulullah, dan Rasulullah mengetahuinya berasal langsung dari firman Allah. Saat itu Rasulullah mengkhawatirkan umat-umatnya akan terjerumus dalam praktik homoseksual seperti yang terjadi pada kaumnya Nabi Luth. Ada beberapa macam penyimpangan seksual seperti, liwath, lesbian (sihaq), gay, biseksual, transgender. Liwath memiliki makna “melakukan

perbuatan seperti kaum Nabi Luth.” Para pelaku liwath disebut dengan luthi, yang dinisbatkan kepada Nabi Luth. Apakah patut perbuatan sekeji itu dinisbatkan kepada nabi yang mulia? begini penjelasannya, Luthi merupakan bentuk idhofah, bukan mufrad. Sehingga penamaannya juga harus dimaknai dengan susunan idhofah secara utuh, tidak hanya salah satu dari unsur idhofah tersebut. Lafadz luthi berasal dari qoumu luthi (kaum Luth) bukan berasal dari kata Luth yang berarti Nabi Luth. Kata liwath tidak berasal asli dari Arab, karena kata Luth merupakan a’jami (nonArab). Rowwas Qol’ahji (1988: 477) menafsirkan liwath sebagai persetubuhan pada anus laki-laki, yang termaktub pada kitab Mu’jam Lughoti Al- Fuqoha’. Berdasarkan pengertian tersebut dalam istilah bahsa Inggis yang paling mendekati adalah homosexuality atau sodomy, sedangkan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan homoseksual.

Perlu kita fahami bahwa liwath bukan termasuk dalam penyakit, melainkan penyimpangan orientasi seksual seperti bestiality, pedofilia, incest. Fitrah laki-laki adalah berhubungan badan dengan perempuan. Allah mensifati orang yang melakukan liwath sebagai orang yang jahil (bodoh) karena tidak bisa membedakan antara fitrah dengan penyimpangan. Pada (Q.S Al-A’raf: 80) Allah memerintahkan Nabi Luth untuk menasihati kaumnya dengan pertanyaan retoris, “mengapa fahisyah dilakukan padahal perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang buruk. Pada umat terdahulu tidak pernah dikenal perbuatan fahisyah tersebut.” Fahisyah pada Q.S Al-A’raf: memiliki makna, laki-laki yang melakukan hubungan badan dengan laki-laki dengan dorongan syahwat. Apabila liwath disebut dengan fahisyah, dan pada ayat lain Allah dengan tegas mengharamkan fahisyah, konsekuensi dari hal tersebut sudah jelas tanpa keraguan bahwa liwath adalah perbuatan maksiat yang diharamkan dan dilaknat oleh Allah. Laknat yang ditimpakan kepada seseorang karena perbuatannya merupakan qorinah (indikasi) tegas yang menunjukkan keharaman perilaku tersebut.

Nabi Muhammad Saw melarang lelaki untuk melihat aurat sesama lelaki dan laki-laki yang tidur bersama dalam satu selimut. Pernyataan tersebut berdasarkan dalil hadis berikut: “Dari Abdurrahman bin Abi Sa’id Al-Khudri dari bapaknya bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Tidaklah (boleh) seorang laki-laki melihat aurat laki-laki melihat aurat laki-laki, dan perempuan melihat aurat perempuan, dan tidak (boleh) seorang laki-laki bersatu dengan laki-laki dalam satu baju. Dan tidak (boleh) seorang wanita bersatu dengan wanita lain dalam satu baju”” (Muslim, tanpa tahun: 238). Dalam Riwayat-riwayat lain juga menerangkan larangan bersentuhan kulit antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan secara intim. “Janganlah seorang lelaki bersentuhan kulit secara intim dengan lelaki dan tidak pula seorang wanita dengan wanita. Ath-Thobari berkata: “Di dalamnya ada penjelasan bahwasanya persentuhan kulit secara intim seorang lelaki dengan lelaki atau wanita dengan wanita yang mana masing-masing dari keduanya menyentuh jasadnya pada jasad yang lain, tidak boleh.”” (Ibnu Batthol, 2003: 366). Jika bersentuhan kulit saja dilarang oleh Rasulullah, maka sudah jelas perilaku liwath yang sampai memasukkan kedalam anus sudah pasti diharamkan.

Dari pemaparan di atas dapat kita fahami bahwa liwath termasuk maksiat, bahkan tergolong dosa besar. Sebagai seorang muslim tidak ragu lagi untuk mengatakan bahwa liwath merupakan perbuatan haram. Dalam Al-quran Allah menunjukkan begitu besarnya dosa liwat bisa dilihat dari penjelasannya dengan panjang lebar. Besarnya dosa juga ditunjukkan dengan turunnya azab yang diturunkan kepada kaum Nabi Luth yang begitu dahsyat dari umat-umat terdahulu. Setelah ditelusuri kembali, tidak hanya Islam yang menentang perilaku liwath, umat Nasrani juga terkenal menentang keras perilaku liwath atau homoseksual. Hanya golongan Nasrani liberal yang mendukung perilaku liwath.

Para pelaku liwath akan dikenakan sanksi yang dibebankan jika pelakunya baligh, berakal, mukhtar (bisa memilih/ tidak dipaksa), dan bayyinah (bukti) syari’ah. Dalil yang menunjukkan bahwa anak kecil dan orang gila tidak dihukum adalah berikut: “Pena diangkat dari tiga orang, yaitu orang yang tertidur sehingga ia terbangun, orang gila sehingga ia sembuh, dan anak-anak hingga ia dewasa.” (Abu Dawud, 2009:243). Pena diangkat memiliki makna bahwa dosa yang dilakukan tidak dicatat, maka pernyataan tersebut berimplikasi bahwa dosa yang dilakukan telah dimaafkan. Orang yang dipaksa juga tidak terbebani dosa, berdasarkan hadis berikut: “Dari Abu Dzar Al Ghifari ia berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda: ‘Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah,

lupa, dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.”” (Ibnu Majah, 2009: 215). Namun meskipun sudah memenuhi persyaratan baligh, berakal, dan mukhtar tidak dapat dijatuhi sanksi apabila tidak ada bayyinah (bukti) yang menunjukkan perbuatan tersebut. Bayyinah liwath tidak dapat disamakan dengan bayyinah zina kerena liwath dan zina merupakan dua perkara yang berbeda. Jika bayyinah zina ditetapkan dengan iqror (pengakuan) atau memerlukan saksi empat orang, sedangkan bayyinah liwath disamakan dengan bayyinah had yang lain yaitu iqror atau adanya perlu saksi sebanyak dua orang yang menyaksikan masuknya glans penis pria ke dalam anus pria lain. Al-Mawardi (1999: 222) mengatakan bahwa hukuman terhadap liwath baru bisa berlaku apabila terdapat unsur taghyibul al-hasyafah (membenamkan glans penis ke dalam anus pria).

Apakah sanksi liwath termasuk hadd atau bukan, masih terjadi khilaf antar para ulama. Sejumlah ulama memasukkan pada golongan hadd, namun sejumlah ulama seperti Imam Malik, Imam Asy-Syafi’I, dan Imam Ahmad berbeda pendapat mengenai argumen tersebut. Alasan dari pendapat bahwa liwath termasuk hadd karena liwath termasuk dosa besar dan Allah melaknat para pelaku liwath. Berikut dalil yang menunjukkan bahwa sanksi liwath termasuk hadd: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Ali An-Nufaili berkata: ‘Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Amru dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata: ‘Rasulullah SAW bersabda: ‘Siapa yang kalian dapati sedang melakukan perbuata kaum Luth, maka bunuhlah; pelaku dan objeknya.”” (Abu Dawud, 2009: 38). Sebagian ulama berpendapat bahwa sanksi bagi pelaku liwath adalah dibunuh tanpa membedakan pelakunya muhshon (orang yang sudah pernah menikah) atau ghoiru muhshon (orang yang belum pernah menikah). Selain dibunuh, ada pula ulama yang berpendapat bahwa pelaku liwath dijatuhi sanksi dengan dirajam, dibakar api, dipenjara, disamakan dengan sanksi zina, ta’zir (disamkan hadd). Berdasarkan banyaknya pendapat dari para ulama, argumentasi-argumentasi yang paling kuat adalah dengan dibunuh. Namun di Indonesia sanksi tersebut sangat kecil kemungkinannya untuk diberlakukan. Karena di Indonesia merupakan negara hukum yang memiliki Undang-Undang yang telah mengatur sanksi bagi pelaku liwath (homoseksual), seperti yang tercantum pada pasal 70 dan 73 UU. No. 39 Tahun 1999.

Selain liwath muncul juga istilah sihaq (lesbianisme), secara sekilas terlihat sama dengan dengan liwath. Tetapi pada dasarnya berbeda, sihaq tidak sampai memasukkan kelamin. Sihaq memiliki pengertian wanita yang bersenang-senang dengan wanita, sehingga termasuk dalam perbuatan fahisyah (perbuatan keji). Maka dari itu sihaq adalah maksiat, dan dihukumi haram. Dalil yang menunjukkan sihaq haram adalah hadis yang menjelaskan bahwa semua anggota tubuh bisa berzina: “Dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: ‘Sesungguhnya manusia itu telah ditentikan nasib perzinaannya, yang tidak mustahil dan pasti akan dijalaninya. Zina kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengar, zina lidah adalah berbicara, zina kedua tangan adalah mennyentuh, zina kedua kaki adalah melangkah, dan zina hati adalah berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan semua itu akan ditindak lanjuti atau ditolak oleh kemaluan.” (Muslim, tanpa tahun: 125). Maksud zina pada hadis ini dimaknai secara majasi, tidak dimaknai secara hakiki. Namun, Ketika anggota badan disebut berzina, maka hal tersebut pasti menunjukkan keharamannya. Sihaq, dapat dipastikan banyak melibatkan anggota badan untuk melampiaskan syahwat kepada sesama wanita, meskipun tidak ada unsur memasukan alat kelamin. Maka dari itu sihaq termasuk perbuatan yang diharamkan sebab termasuk kategori zina majasi berdasarkan hadis tersebut. Sanksi bagi pelaku sihaq adalah ta’zir karena semakna dengan perbuatan mubasyaroh dunal farji (bercumbu tidak sampai bersetubuh).

Islam begitu menjaga peradaban manusia, agar manusia bisa terus menjaga peradabannya dengan baik. Ditunjukkan dengan laknat Allah yang begitu dahsyat terhadap para pelaku penyimpangan seksual, baik laknat yang ditunjukkan secraa dohir maupun batin. Kita sebagai umat beragama khususnya Islam harus dengan tegas menolak perbuatan tersebut. Meskipun akhir-akhir ini banyak orang yang melegalkan perbuatan penyimpangan seksual dengan dalih toleransi. Padahal pada hakikatnya toleransi bukanlah membenarkan perbuatan yang salah, tetapi bagaimana sikap kita terhadap sesuatu yang berbeda selagi dalam koridar syariat. Namun kita juga tidak dibenarkan untuk mencaci maki para pelaku penyimpangan seksual, tentu membutuhkan berbagai sudut pandang untuk menghakimi pelaku penyimpangan seksual. Salah satu penyimpangan seksual yang sering terdengar adalah liwath (memasukkan glans penis pada anus), seperti perbuatan dari kaum Nabi Luth yang dilaknat Allah dengan dibalikkannya kota tempat tinggal serta dihujani batu dari neraka. Ulama memiliki beberapa pandangan sanksi bagi pelaku liwath namun sanksi yang paling kuat kuat argumennya adalah dibunuh. Ada juga perbuatan penyimpangan seksual yang hampir mirip dengan liwath tetapi pada hakikatnya berbeda, yakni sihaq. Sihaq merupakan wanita yang bersenang-senang dengan wanita lain, tetapi tidak sampai pada unsur memasukkan kelamin seperti liwath. Sanksi bagi pelaku sihaq adalah ta’zir.


Daftar Pustaka

  • Rozikin, Mokhamad Rohma, M. Pd. 2017. Lgbt Dalam Tinjauan Fikih. Malang: UB Press.
  • An-Nawawi, Imam. Al-MajmuSyarhu Al-Muhadzab. Beirut: Dar Al-Fikri.
  • Asy-Syirozi, Imam. 1992. Al-Muhadzab. Beirut: Ad-Dar Asy-Syamiyyah.
  • Asy-Syaukani. 1993. Nailu Al-Author. Mesir: Dar Al-Hadits.
  • Katsir, Ibnu. 1968. Qoshosh Al-Anbiya’. Al-Qohiroh: Mathba’ah Dar At-Ta’lif.
  • Dr. Tasrif, Muh, M.Ag. 2016. Islam, LGBT & Hak Asasi Manusia. Ponorogo: STAIN Po PRESS.
  • Dr. Munadi, MA. 2017. Diskursus Hukum LGBT di Indonesia. Sulawesi: Unimal Press.