Oleh Muhammad Rasyid Ridho
Pendahuluan
Perlindungan anak ialah hal wajib yang harus diperhatikan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial secara keseluruhan. Dalam mewujudkan hal tersebut dibuatlah ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial.
Namun kenyataannnya, di lain pihak, perlindungan anak menjadi momok yang cukup serius, karena dari angka kasus kejahatan terhadap anak, khususnya di Indonesia menunjukkan intensitas yang terus meningkat. Salah satu bentuk kejahatan itu, yaitu kejahatan seksual terhadap anak-anak, dimana kejahatan ini sering disebutkan sebagai kejahatan pedophilia
Dalam hal ini, pedophilia sebagai kelainan gangguan jiwa pada seseorang dengan menjadikan anak-anak sebagai sasaran dari tindakannya itu. Umumnya bentuk tindakannya itu berupa pelampiasan syahwat seksual. Pelaku memulai dengan membujuk korban dengan menjajikan sesuatu, atau memberikan sesuatu yang membuat anak kecil itu senang. Tindak kejahatan pedophilia ini sangat menggelisahkan, karena yang menjadi korban adalah anak-anak.
Kejahatan pedophilia cenderung mendatangkan dampak traumatis, pada anak, dan banyak kasus kejahatan pedophilia sering tidak terungkap, karena adanya penyangkalan terhadap peristiwa kejahatan pedophilia yang terjadi. Terlebih lagi terjadi pada anak-anak, dan mereka tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban yang mengakibatkan sulit mempercayai orang lain, sehingga merahasiakan peristiwa yang dialaminya. Selain itu, sikap anak yang cenderung takut melaporkan, karena mereka merasa diri terancam akan mengalami dampak yang lebih buruk bila melapor, dan adanya rasa malu untuk menceritakan peristiwa kejahatan pedophilia. Anak merasa bahwa peristiwa kejahatan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya, dan peristiwa kejahatan seksual membuat anak merasa bahwa dirinya akan mempermalukan nama keluarga.1
1 Ratih Probosiwi dan Daud Bahransyaf,“Pedophilia dan Kekerasan Seksual: Masalah dan Perlindungan Terhadap Anak”, (Jurnal Sosio Informa Vol. 1 No. 1 Januari-April Tahun 2015), h. 18.
Adapun yang menjadi urgensi permasalahan dalam tulisan sederhana ini adalah bagaimana upaya penanggulangan kejahatan seksual pada anak (pedophilia) melalui hukum pidana Islam (fikih jinayah/jarimah).
Pengertian Pedophilia
Pedophilia berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata pais (anak-anak) dan phillia (cinta yang bersahabat atau sahabat).2 Dalam Kamus Kedokteran diartikan bahwa pedophilia adalah sikap senang terhadap anak-anak, biasanya cinta orang dewasa terhadap anak-anak dengan tujuan seksual.3 Hal ini juga dijelaskan dalam Kamus Saku Kedokteran Dorlan, dimana Pedophilia dibagi menjadi dua yaitu:
- Kesukaan abnormal4 terhadap anak aktivitas seksual orang dewasa terhadap anak- anak.
- Perbuatan seksual yang tidak wajar dimana terdapat dorongan atau fantasi yang kuat dan berulang-ulang berupa hubungan kelamin dengan anak pubertas.
Pedophilia secara umum digunakan sebagai istilah untuk menjelaskan salah satu kelainan perkembangan psychosexuall5, dimana seseorang memiliki hasrat seksual yang abnormal terhadap anak-anak. Pedophilia merupakan perbuatan seksual yang dilangsungkan oleh orang dewasa terhadap anak-anak di bawah umur.
Dalam hukum Islam tidak ada yang secara langsung mendeskripsikan pedophilia ini, akan tetapi jika dirujuk dari perbuatannya, kasus ini masuk ke dalam unsur-unsur jarimah zina, yaitu: persetubuhan yang diharamkan )المحرمة الوطء( ditambah adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum )الجاناني القصر أو الوطء تعمد( .6
Dalam Islam, kasus ini bukanlah hal baru. Alquran juga mencatat bagaimana kisah Nabi Luth dengan kaumnya masyarakat Sodum yang berperilaku bejat, mereka lebih memilih kesesatan
2 5 Gerald C. Davison, Jhon M. Neale, Ann M. Kring, Psikologi Abnormal, (terj. Noermalasari fajar), Edisi.
- (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 623.
3 Ahmad Ramali, Kamus Kedokteran (Arti dan Keterangan Istilah), (Jakarta: Djambatan, 2005), h. 255.
4 Abnormal adalah suatu tindakan/tingkah laku yang tidak normal atau sangat menyimpang dari kenormalan. Dede Rahmat Hidayat, Ilmu Perilaku Manusia (Pengantar Psikologi Untuk Tenaga Kesehatan), (Jakarta: Trans Info Media, 2013), h. 170.
5 Psikoseksual adalah perbuatan yang berhubungan dengan berbagai gejala seks yang timbul karena faktor psikologis, dan perkembangan psikoseksual adalah kombinasi antara proses kemasakan dan proses belajar yang membawa perubahan dalam perilaku seksual maupun kepribadian, dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Lihat Frank J. Bruno, Routlede & Kegan Paul, Dictionary of Key Word in Psycology,terj. Cecilia G. Samekto dkk,(Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 239.
6 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri al-Jinaī al-Islamī Muqaran bil al-Qanun al-Wadh’ī, Jilid II (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), h. 349.
ketimbang jalan kebenaran.. Kaum Nabi Luth adalah kaum yang pertama kali yang melakukan penyimpangan seksual dengan bentuk masyarakat yang suka sesama jenis (homoseksual),7 maka Allah mengutus Nabi Luth untuk memperingatkan penyimpangan dan kesesatan mereka. Allah
berfirman dalam QS. an-Naml ayat 54-55:
Artinya: “dan (ingatlah kisah) Luth, ketika Dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?”.“Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)”. (QS. an-Naml: 54-55).
Penyebab pedophilia antara lain sebagai berikut:
- Hambatan dalam perkembangan psikologis yang menimbulkan ketidakmampuan penderita menjalin relasi heterososial dan homososial yang wajar;
- Kecenderungan kepribadian antisosial yang ditandai dengan hambatan perkembangan pola seksual, disertai oleh hambatan perkembangan moral;
- Ketakutan impotent, serta rendahnya tatanan etika dan moral.
Upaya Penanggulangan Kejahatan Pedophilia
Dalam upaya mengatasi kejahatan seksual pada anak, telah banyak peraturan yang mengatur larangan melakukan perbuatan tersebut dan bagaimana sanksi pidana yang akan diterima oleh pelaku. Karena secara umum hukum berfungsi mengatur tatanan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana kejahatan seksual cabul diatur dalam Pasal 289 dan 290 serta pidana cabul terhadap anak dibawah pengawasan atau belum cukup umur pada Pasal 294 ayat (1). Pasal 289 menyebutkan “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
Selain itu, dalam Pasal 294 disebutkan: “Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, dengan anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa
7 Imam Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi, terj. Dudi Rosyadi, (Jakarta: Pustaka Setia, 2011), h. 314-315.
atau dengan orang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan ataupun dengan bujangnya atau bawahnya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.” Bunyi Pasal 294 KUHP telah jelas menyebutkan bahwa sanksi atau ancaman bagi pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yakni pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana undang-undang ini telah dilakukan beberapa perubahan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, terdapat Pasal yang menyebutkan tentang larangan kekerasan seksual dan perbuatan cabul. Terdapat dalam Pasal 76D dan 76E yang menyebutkan:
Pasal 76D
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 76E
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Untuk sanksi bagi pelaku kejahatan dalam Pasal diatas dijelaskan dalam Pasal 81, yang berbunyi:
Pasal 81
- Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
- Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dalam kasus kejahatan pedophilia, Islam menyatakan bahwa perbuatan tersebut dilarang oleh syara’ karena menyalahi aturan yang sudah ditentukan dalam nash. Pedophilia merupakan
perbuatan berlawanan dengan akhlak dan fitrah manusia karena banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan baik itu untuk pelaku ataupun korban. Kejahatan pedophilia dilakukan atas dasar pelampiasan hasrat seksual yang tidak melalui hubungan perkawinan dan yang menjadi objeknya adalah anak di bawah umur. Islam telah menetapkan hukuman untuk perilaku yang merusak sistem kemasyarakatan dan keselamatan sebagai perbuatan jarimah atau salah satu perbuatan yang dilarang oleh syara’, dengan kata lain perbuatan tersebut telah diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
Upaya penanggulangan kasus kejahatan termasuk pedophilia sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam Islam terbagi menjadi dua, yaitu:8
- Pencegahan (ar-rād’u wa az-zājru). Tujuan pencegahan artinya menahan pelaku jarimah agar tidak mengulangi perbuatannya dan sebagai langkah preventif supaya orang lain tidak melakukan tindak pidana.
- Pengajaran (al-islāh wa at-ta’dīb) Tujuan pengajaran artinya untuk memberikan pelajaran bagi pelaku jarimah agar si pelaku tersebut dapat mencapai kesadaran batin untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Cakupan dalam konteks pencegahan di sini adalah mencegah si pelaku agar tidak ada tindakan residivisme dan mencegah diri orang lain dari perbuatan yang dilarang tersebut. Penjatuhan hukuman juga bermaksud membentuk masyarakat yang baik dengan adanya rasa saling menghormati dan mencintai dengan tetap berpegang teguh pada batasan atau ketentuan.
Pada dasarnya tindakan pedophilia dikategorikan sebagai kejahatan kesusilaan yang dianggap sangat sensitif karena menyangkut masalah kehormatan manusia. Bahkan dengan tegas Islam melarang segala jenis bentuk tindakan penyimpangan seksual dan segala hal yang mendekatinya, sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Isra’ ayat 32:
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isra’: 32)
8 Ahmad Hanafi, Asas Asas Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 279.
Ayat tersebut menyebutkan kata Fahisyah yang yang menjadi dalil bahwa perbuatan zina adalah suatu hal yang melampaui batas dalam ukuran apapun dan suatu jalan yang buruk dalam menyalurkan kebutuhan biologis. Apabila merujuk pada tindakan pedophilia yang pelampiasan seksualnya berorientasi untuk memuaskan hasrat abnormal dan hanya tertarik pada anak-anak, walaupun perbuatannya masih dalam kategori pendahuluan dari zina, contoh mūfākhadẓah (memasukan penis di antara dua paha), atau memasukannya ke dalam mulut,atau sentuhan diluar farji. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat menimbulkan rangsangan terhadap perbuatan zina yang harus dikenai hukuman. Disamping itu, dalam syariat Islam terdapat suatu kaidah yang berbunyi:
إن ما أدى إلى الحرام فهو حرام 9
Artinya “Setiap perbuatan yang mendatangkan kepada haram maka hukumnya adalah haram.”
Berdasarkan kaidah tersebut setiap perbuatan yang pada akhirnya akan mendatangkan kepada perzinahan maka perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan hukuman. Meskipun pada umumnya para fuqāha sepakat bahwa tindakan yang dianggap zina adalah persetubuhan terhadap farji manusia yang masih hidup namun dalam penerapan pada kasus-kasus tertentu terdapat beberapa perbedaan pendapat.. Beberapa unsur yang terkandung dalam tindakan pedophilia dapat menggunakan dasar dari kejahatan perzinahan. Namun, ada beberapa perbedaan terutama pada perzinahan terdapat unsur kerelaan, sedangkan untuk tindakan pedophilia adanya unsur pemaksaan yang hampir serupa dengan pemerkosaan, hanya objeknya berganti menjadi anak di bawah umur.
Penanggulangan kejahatan pedophilia dalam Islam, jika diamati juga tidak terlepas dari tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishas dan diat, dan jarimah ta’zir:
- Jarimah hudud .
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah:
والحد هو العقوبة المقدرة حقا هلل تعالى10
Artinya: “Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah.
9 Abdullah Ibn Muhammad ibn Qudamah, al-Mughāi, Juz VIII, (Dar Al-Manar, 1368 H), h.181.
10 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri al-Jinaī al-Islamī Muqaran bil al-Qanun al-Wadh’ī, Jilid 1(Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), h. 78-79.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah hudud itu adalah sebagai berikut:
- Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
- Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia di samping hak Allah maka hak Allah yang lebih dominan.
- Jarimah qishas dan diat
11دية أو بقصاص عليها يعاقب التي جرائم هي و والدية القصاص جرائم Jarimah qishas dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qisas atau diat. Baik qisas maupun diat keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaannya dengan hukuman had adalah merupakan hak Allah, sedangkan qishas dan diat adalah hak manusia (hak individu). Perbedaan lainnya adalah hukuman qishas dan diat merupakan hak manusia maka hukuman tersebut bisa dimaafkan atau digugurkan oleh korban bahkan keluarga, sedangkan hukuman had tidak bisa dimaafkan atau digugurkan.
- Jarimah ta’zir
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir menurut bahasa adalah ta’dib, artinya memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan dengan ar- raddū wal man’ū, yang artinya menolak dan mencegah. Sedangkan pengertian ta’zir menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Mawardi:
والتعزير تأديب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود12
Artinya:“Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan oleh syara’.“
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:
- Hukumannya tidak tertentu dan terbatas. Artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan maksimal.
- Penentuan hukuman tersebut adalah hak ulil amri (penguasa).
11 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri al-Jinaī al-Islamī Muqaran bil al-Qanun al-Wadh’ī, Jilid 1(Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), h. 79.
12 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkām Al-Ṣhuṭāniyah Wal Wilāyāt ad-Diniyah, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 293.
Pedophilia dalam Islam dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum atau jarimah dan ada hukuman atau sanksi berupa had atau ta’zir bagi orang yang melakukannya. Seks yang sesuai dengan syariat Islam adalah kegiatan seks dilakukan dengan jalur perkawinan, kegiatan tersebut dilakukan secara heterosexual, dilakukan oleh orang yang sudah mampu dalam konteks ini adalah balig. Di samping itu, kegiatan seks juga bertujuan untuk reproduksi atau memperoleh keturunan sebagai proses regenerasi.13
Tindakan penyimpangan seksual seperti pedophilia apabila dikaitkan dengan tindakan pemerkosaan, karena mengandung unsur yang sama yaitu pemaksaan bahkan kekerasan, ancaman fisik dan psikologis maka kejahatan sadistic ini harus dijatuhi hukuman yang berat yaitu zina dan hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir ialah hukuman yang diputuskan oleh hakim, yang berat- ringannya tergantung dari jenis kejahatan yang dilakukan. Melihat dari perbuatan pedophilia seperti dari beberapa pernyataan yang sudah dipaparkan sebelumnya, tindakan tersebut digolongkan dalam dua kategori, salah satunya yaitu pedophiliahomoseksual, dimana perbuatannya melalui liwath. Larangan hukuman bagi orang yang melakukan liwath (homoseksual) juga terdapat pada hadist Nabi yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dan kawan-kawannya:
Artinya: “Dari Ikhrimah dari ibn Abbas ia berkata: telah bersabda Rasullah:”barang siapa yang kamudapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth(homoseksual) maka bunuhlah si pelaku dan yang dikerjainya (obyeknya).” (HR.Tirmizī).
Imam Malik, Syafi’i, Ahmad dan Syi’ah Zaidiah serta Imamiyah, berpendapat bahwa hukuman bagi penyimpangan seks tersebut diartikan sebagai perbuatan zina. Pendapat yang sama juga dikemukakan Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf murid Imam Abu Ḥanifah. Alasan tersebut disamakan dalam istilah fahisyah, baik itu wathi di dubur (homoseksual) maupun wathi di qubul (zina).15
13 Baidatul Muchlis Asti, Seks Indah Pernuh Berkah, (Semarang: Pustaka Adnan, 2006), h. 130.
14 Ibnu al-Arabi al-Maliki, ‘Arizātul Ahwāzi Sharah Ṣahih Tirmizī, Jilid 3,Kitab Hudud No Hadits 1456,(Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1997), h. 189.
15 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005), h. 12.
Mengenai hukuman, semua ulama sepakat bahwa hubungan kelamin sejenis merupakan suatu pelanggar seks, namun mereka berbeda pendapat dalam penentuan hukumannya. Dalam hal ini dijumpai tiga pendapat:16
- Pendapat yang mengatakan bahwa pelakunya harus dibunuh secara mutlak. Pendapat ini dikemukakan oleh para sahabat, Qasim bin Ibrahim dan Imam Syafi’i (dalam satu pendapat).
- Pendapat yang mengatakan bahwa pelakunya harus di had sebagaimana had zina. Jadi jika pelakunya seorang bujang, maka ia harus didera, jika pelakunya orang muhsan maka ia harus dirajam. Pendapat ini dikemukakan oleh Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Hasan, Qatadah, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Abu Thalib, Imam Yahya dan Imam Syafi’i (dalam satu pendapat).
- Pendapat yang mengatakan bahwa pelakunya harus diberi saksi ta’zir. Pendapat ini disuarakan oleh Abu Ḥanifah, Muayyad, Billah, Murtadha, Imam Syafi’i (dalam satu pendapat).
Kesimpulan
- Dari uraian di atas, terkuak bahwa pedophilia merupakan kejahatan yang abnormal dan diklasifikasikan sebagai kejahatan kelas berat (extraordinary crime), yang dimaksud abnormal adalah, dimana pria dewasa melakukan pemuasan seksual kepada anak yang masih di bawah umur, baik itu dilakukan dengan rayuan, maupun secara paksaan atau ancaman. Upaya penanggulangan kejahatan pedophilia sudah terakomodir dalam KUHP, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
- Pada dasarnya, pedophilia dalam hukum Islam sama halnya dengan pemerkosaan. Karena, dilakukan oleh orang dewasa yang sudah dapat diminta pertanggungjawaban hukum. Dilakukan dengan memaksa orang yang masih dalam usia di bawah umur untuk melakukan perbuatan yang tak sewajarnya. Padahal, aturan mengancam keras terhadap pelaku pemerkosaan terhadap anak di bawah umur baik itu karena rayuan apalagi pemaksaan atau ancaman, dimana hal tersebut diberikan untuk memberikan efek jera dan pembelajaran bagi masyarakat umum. Selayaknya pelaku harus dihukum dengan ketentuan hukum yang
16 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 9, (Bandung: PT. Alma’rif, 1984), h. 140-143.
berlaku di negeri tercinta ini, maupun dihukum dengan menggunakan sanksi pidana Islam seperti yang telah di terapkan di Aceh.
- Untuk penanggulangan kejahatan pedofilia diharapkan tidak hanya cukup usaha yang bersifat pidana melainkan juga butuh langkah preventif dari semua lapisan masyarakat, baik dari sisi pemerintah, lembaga-lembaga yang berkaitan maupun dalam tingkat keluarga. Untuk tingkat keluarga diharapkan orang tua harus perhatian dan peka terhadap segala permasalahan anak-anak mereka, karena anak sukar untuk mulai menceritakan masalah mereka. Selalu berinteraksi dengan mereka dan mengontrol setiap aktivitas mereka sehingga tidak terjatuh kearah perbuatan yang salah (bertentangan dengan syara’ dan hukum).
Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Karim.
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri al-Jinaī al-Islamī Muqaran bil al-Qanun al-Wadh’ī, Jilid II(Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992).
Abdullah Ibn Muhammad ibn Qudamah, al-Mughāi, Juz VIII, (Dar Al-Manar, 1368 H). Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005).
Ibnu al-Arabi al-Maliki, ‘Arizātul Ahwāzi Sharah Ṣahih Tirmizī, Jilid 3,Kitab Hudud No Hadits 1456,(Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1997).
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkām Al-Ṣhuṭāniyah Wal Wilāyāt ad-Diniyah, (Beirut: Darul Kutub al- Ilmiyah, tt).
Masrizal Khaidir, “Penyimpangan Seks (Pedophilia)”, (Jurnal Kesehatan Masyarakat, September 2007, I (2).
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), (Jakarta: PT. Raja Gfarindo, 2007).
Ratih Probosiwi dan Daud Bahransyaf, “Pedophilia dan Kekerasan Seksual: Masalah dan Perlindungan Terhadap Anak”, (Jurnal Sosio Informa Vol. 1 No. 1 Januari-April Tahun 2015).Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 9, (Bandung: PT. Alma’rif, 1984).